PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Menurut World Health Organisation rumah sakit
merupakan suatu organisasi sosial dan kesehatan yang mempunyai fungsi sebagai
pelayanan, meliputi pelayanan paripurna (komperhensif) penyembuhan
penyakit (kuratif) dan juga sebagai pencegahan penyakit (preventif)
kepada masyarakat. Sebagai bentuk peningkatan kualitas pelayanan perawatan di
Inggris dilakukan evaluasi dengan pendekatan sistem dan prinsip pelayanan
pasien. Hal itu bertujuan supaya pasien mendapatkan perawatan dengan kualitas
yang tinggi dan tepat waktu (Leading Practices in Emergency Departement ,
2010).
Instalasi Gawat Darurat merupakan salah satu unit
pelayanan di rumah sakit yang memberikan pertolongan pertama dan sebagai jalan
pertama masuknya pasien dengan kondisi gawat darurat. Keadaan gawat darurat
adalah suatu keadaan klinis dimana pasien membutuhkan pertolongan medis yang
cepat untuk menyelamatkan nyawa dan kecacatan lebih lanjut (DepKes RI, 2009).
Ketepatan waktu dalam pelayanan kegawatdaruratan menjadi perhatian penting di
Negara-negara seluruh dunia. Hasil studi dari National Health Service Di Inggris, Australia, Amerika dan Kanada
bahwa pelayanan perawatan mempengaruhi tingkat kepuasan pasien (Leading Practices in Emergency Departement,
2010). Data kunjungan masuk pasien
IGD di Indonesia sebanyak 4.402.205 pasien (Keputusan Menteri Kesehatan, 2009).
Pelayanan gawat darurat di Provinsi Jawa Tengah mengalami peningkatan pada
tahun 2011 - 2012 dari 98,80% menjadi 100% dengan berbagai banyak keluhan
pasien yang beranekaragam (Profil kesehatan Provinsi Jawa Tengah tahun, 2013).
Triase adalah
pengelompokan pasien berdasarkan berat cideranya yang harus di prioritaskan ada
tidaknya gangguan airway, breathing, dan circulation sesuai
dengan sarana, sumberdaya manusia dan apa yang terjadi pada pasien (Siswo,
2015). Sistem triase yang sering di gunakan dan mudah dalam mengaplikasikanya
adalah mengunakan START (Simple triage and rapid treatment) yang pemilahanya
menggunakan warna . Warna merah menunjukan prioritas tertinggi yaitu korban
yang terancam jiwa jika tidak segera mendapatkan pertolongan pertama. Warna
kuning menunjukan prioritas tinggi yaitu koban moderete dan emergent.
Warna hijau yaitu korban gawat tetapi tidak darurat meskipun kondisi dalam
keaadaan gawat ia tidak memerlukan tindakan segera. Terakhir adalah warna hitam
adalah korban ada tanda-tanda meninggal (Ramsi, IF. dkk ,2014) Label kuning
merupakan salah satu indikator warna yang digunakan ketika mengidentifikasi,
memilah dan menempatkan pasien pada kategori prioritas untuk mendapatkan
perawatan sesuai dengan tingkat keparahan dalam sistem triase. Pada label
kuning, perawatan pasien dapat ditunda dalam waktu kurang dari 30 menit. Warna
kuning termasuk prioritas tinggi yaitu korban gawat dan darurat yang tidak
dapat dimasukan prioritas tertinggi (label merah) maupun prioritas sedang
(label hijau) (Ramsi ,2014). Pasien dengan kriteria respirasi 10-30 x/menit ,
nadi teraba, capillary revilltime lebih dari 2 detik dan niali GCS
kurang dari 13 merupakan kriteria pasien label kuning (Kilner T, 2002)
Trauma kepala head Injury merupakan suatu trauma atau jejas yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun
tidak langsung pada kepala (Indra Ramadlan 2009). Head injury atau cedara
kepala merupakan akibat salah satu dari kedua mekanisme dasar yaitu kontak
bentur dan guncangan lanjut. Kontak bentur terjadi bila kepala membentur dan
menabrak suatu objek sedangkan gunjangan lanjut merupakan akibat peristiwa
guncangan kepala yang hebat, baik disebabkan oleh pukulan maupun bukan karena
pukulan (Satyanegara, 2010). Cedera kepala adalah trauma yang disebabkan oleh
kekuatan fisik eksternal yang dapat
menimbulakan atau merubah tingkat kesadaran. Hal tersebut dapat berubah
kerusakan atau gangguan kegiatan sehari-hari (Donna, 1995).
Soetom (2002), cedera kepala sering kita jumpai di lapangan.
DiAmerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai
500.000 kasus, dari jumlah di atas, 10% penderita meninggal sebelum tiba di
rumah sakit dan lebih dari 100.000 penderita berbagai tingkat kecacatan akibat
cedera kepala tersebut. Di negara berkembang seperti Indonesia, perkembangan
ekonomi dan industri memberikan dampak frekuensi cedera kepala cenderung
semakin meningkat, dan merupakan salahsatu kasus yang paling sering dijumpai di
ruang gawat darurat rumah sakit. Suatu rumah sakit yang melayani daerah yang
berpenduduk sekitar 250.000 orang bisa menerima sampai 5.000 kasus cedera
kepala tiap tahun, ini merupakan 10% dari semua kasus yang datang. Sedangkan
menurut Suzanne C, (2001) diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahunnya
akibat cedera kepala, dan lebih dari 700.000 mengalami cedara cukup berat yang memerlukan
perawatan di rumah sakit. Pada kelompok ini, antara 50.000 dan 90.000
orang setiap tahun mengalami penurunan intelektual atau tingkah laku yang
menghambat kembalinya mereka menuju kehidupan normal.
Soetom (2002), distribusi kasus cedera kepala terutama
melibatkan kelompok usia produktif antara 15-44 tahun dan lebih didominasi oleh
kaum laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Penyebab cedera kepala terbanyak adalah
akibat kecelakaan lalu lintas, disusul dengan jatuh (terutama pada anak-anak). Menurut
American Journal of Public Health dengan makin banyaknya kendaraan di
jalan-jalan dan meningkatnya mobilitas penduduk, maka kasus cedera kepala
terutama akibat kecelakaan lalu lintas akan makin bertambah pula. Di Amerika
pada tahun 1970 kecelakaan lalu-lintas telah menduduki tempat keempat sebagai
penyebab kematian yang utama, bahkan nomor satu pada golongan usia 0-40 tahun.
Klasifikasi Head
Injury atau cedera kepala terbagi
atas cedera kepala ringan, sedang, dan cedera kepala berat. Pertama cedera
kepala ringan yaitu klien tidak akan mengalami kehilangan kesadaran, biasanya
klien akan mengeluh nyeri kepala dan pusing. Klien dapat menderita hematoma
pada kulit kepala. Kedua cedera kepala sedang yaitu keadaan tingkat kesadaran
(GCS) antara 9-12, gejala ini berupa muntah, amnesia pasca trauma dan biasanya
terdapat kejang. Ketiga cedera kepala berat yaitu cedera kepala dengan tingkat
kesadaran (GCS) antara 3-8, tingkat kesadaran koma (Mansjoer, 2001). Cedera
kepala dimaksudkan sebagai trauma di daerah kulit kepala, tengkorak, otak, kontusio
serebal atau laserasi, fraktur dan cedera pembuluh darah. Jenis fraktur
tengkoraktermasuk linear (lebih umum pada anak), tertekan, terbuka (terdapat
hubungan antara lasersi kulit kepala dan otak) dan basilar (termasuk dasar atau kubah tengkorak). Komplikasi
cidera kepala dapat berupa peningkatan tekanan intrakranial (TIK), perdarahan
epidural atau subdural dan edema serebal. Prognosis bergantung pada beratnya
cedera dan lama koma (Speer, 2008).
Cedera kepala merupakan peristiwa yang sering terjadi dan mengakibatkan
kelainan pada neurologis yang serius serta telah mencapai proporsi epidemik
sebagai akibat dari kecelakaan jalan raya (Diane C., 2000). Bahkan cedera
kepala bisa mengakibatkan kematian atau penderita bisa mengalami penyembuhan
total dan cacat pada usia kurang dari 50 tahun, adapun luka tembak pada kepala
merupakan penyebab kematian nomor 2 pada usia dibawah 35 tahun. Jenis dan
beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan beratnya kerusakan otak yang
terjadi, hampir separuh penderita yang mengalami cedera kepala meninggal (Budi,
2008). Soetom (2002), cedera kepala
berperan pada hampir separuh dariseluruh kematian akibat trauma. Karena itu,
sudah saatnya seluruh fasilitas kesehatan yang ada, khususnya
puskesmas dan rumah sakit sebagai pelayanan terdepan kesehatan, dapat melakukan
penanganan yang optimal bagi penderita cedera kepala. Seperti negara-negara
berkembang lainnya, kita tidak dapat memungkiri bahwa masih terdapat banyak
keterbatasan, di antaranya keterbatasan pengetahuan dan keterampilan petugas
kesehatan, keterbatasan alat-alat medis, serta kurangnya dukungan sistem
transportasi dan komunikasi.
Hal ini memang merupakan tantangan bagi kita dalam menangani
pasien dengan trauma, khususnya trauma kepala. Cedera kepala merupakan keadaan yang
serius. Oleh karena itu, setiap petugas kesehatan diharapkan mempunyai pengetahuan
dan keterampilan praktis untuk melakukan penanganan pertama. Diharapkan dengan
penanganan yang cepat dan akurat dapat menekan morbiditas dan mortalitasnya.
Penanganan yang tidak optimal dan terlambatnya rujukan dapat menyebabkan
keadaan penderita semakin memburuk dan berkurangnya kemungkinan pemulihan
fungsi. Mengingat banyaknya masalah yang
bisa terjadi pada cedera kepala maka perhatian dan perawatan pada penderita cedera
kepala tidak boleh diabaikan agar masalah tidak semakin berat dan terhindar
dari komplikasi.
Berdasarkan kondisi tersebut maka perawat perlu mengetahui
tentang asuhan keperawatan pada klien dengan cedera kepala agar dapat
melaksanankan asuhan keperawatan dengan baik. Oleh karena itu kelompok tertarik
dalam pemberian asuhan keperawatan gawat darurat pada klien dengan head injury.
Sehingga saya mengambil kasus head injury sebagai tugas akhir
dengan judul ”Laporan Kegawatdaruratan pada An.R dengan Head Injury di IGD RSUP
H. Adam Malik Medan Tahun 2017”.
B.
TUJUAN PENULISAN
Penyusunan makalah dengan judul “Laporan Kegawatdaruratan pada
An. R dengan Head Injuri di RSUP HAM Tahun 2017” bertujuan untuk:
1.
Tujuan Umum
Mampu mengidentifikasikan asuhan
keperawatan pada klien dengan Head Injury dengan menggunakan proses keperawatan
yang utuh dan komprehensif.
2.
Tujuan Khusus
a. Mampu melakukan pengkajian An.
R dengan Head Injury.
b. Mampumerumuskan diangnosa
keperawatan An. R dengan Head Injury.
c. Mampu menetapkan perencanaan An. R
dengan Head Injury.
d. Mengaplikasikan tindakan keperawatan
An. R dengan Head Injury.
e. Mampu mengevaluasi
An. R dengan Head Injury.
BAB
II
KONSEP DASAR
1.
KONSEP CEDERA KEPALA
A. PENGERTIAN
Menurut
Brunner dan Suddarth (2001), cedera kepala adalah cedera yang terjadi pada kulit kepala, tengkorak dan otak, sedangkan
Doenges, (1999) cedera kepala adalah cedera kepala terbuka dan tertutup yang
terjadi karena, fraktur tengkorak, kombusio gegar serebri, kontusio
memar, leserasi
dan perdarahan serebral subarakhnoid,
subdural, epidural,
intraserebral, batang otak. Cedera kepala
merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi terhadap kepala
yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak (Pierce & Neil. 2006).
Adapun
menurut Brain Injury Assosiation of America (2009), cederakepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi
atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik. Beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa cedera kepala
adalah trauma pada kulit kepala, tengkorak, dan otak yang terjadi baik secara
langsung ataupun tidak langsung pada kepala yang dapat mengakibatkan terjadinya
penurunan kesadaran bahkan dapat menyebabkan kematiaan.
2. Macam-macam cedera kepala
Menurut, Brunner dan Suddarth,
(2001) cedera kepala ada 2 macam yaitu:
a. Cedera kepala terbuka
Luka
kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya tengkorak atau luka penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe
ini ditentukan oleh massa dan bentuk dari benturan, kerusakan otak juga dapat
terjadi jika tulang tengkorak menusuk dan masuk kedalam jaringan otak dan melukai
durameter saraf otak, jaringan sel otak akibat benda tajam/ tembakan, cedera
kepala terbuka memungkinkan kuman pathogen memiliki abses langsung ke otak.
b. Cedera kepala
tertutup
Benturan
kranial pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan yang mendadak.
Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat, kemudian serentak berhenti
dan bila ada cairan akan tumpah. Cedera kepala tertutup meliputi: kombusio
gagar otak, kontusio
memar, dan laserasi.
3.
Klasifikasi cedera kepala
Menurut Jannet & Bone, 1976
dalam Rosjidi (2007), trauma kepala diklasifikasikan menjadi derajat
berdasarkan
nilai dari Glasgow
Coma Scale (
GCS ) nya, yaitu;
a.
Ringan
1.)
GCS = 13 – 15
2.)
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
3.)
Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
b. Sedang
1.)
GCS = 9 – 12
2.)
Kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24
jam.
3.) Dapat
mengalami fraktur tengkorak.
c. Berat
1.) GCS =
3 – 8
2.)
Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
3.) Juga
meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.
B. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Gambar
1. anatomi dan fisiologi kepala
1. Tengkorak
Tulang
tengkorak menurut, Evelyn C Pearce (2008) merupakan struktur tulang yang
menutupi dan melindungi otak, terdiri dari tulang kranium dan tulang muka.
Tulang kranium terdiri dari 3 lapisan :lapisan luar, etmoid
dan lapisan dalam. Lapisan luar dan
dalam merupakan struktur yang kuat sedangkan etmoid merupakan struktur yang menyerupai busa.
Lapisan dalam membentuk rongga/fosa; fosa anterior didalamnya terdapat lobus frontalis,
fosa
tengah berisi
lobus temporalis, parientalis, oksipitalis, fosa posterior berisi otak tengah dan sereblum.
Gambar 2. Lapisan cranium
http://darmawanimoets.files.wordpress.com
2. Meningen
Pearce,
Evelyn C. (2008) otak dan sumsum tulang belakang diselimuti meningia yang
melindungi syruktur saraf yang halus itu, membawa pembulu darah dan dengan
sekresi sejenis cairan, yaitu: cairan serebrospinal yang memperkecil benturan atau
goncangan. Selaput meningen menutupi terdiri dari 3 lapisan yaitu:
a.
Dura mater
Dura
mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan
lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas
jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium.
Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu
ruang potensial ruang subdural yang terletak antara dura
mater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluhpembuluh
vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis
superior di garis
tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan
menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis
superior mengalirkan
darah vena ke sinus transversus dan sinus
sigmoideus. Laserasi
dari sinus-sinus ini dapat
mengakibatkan perdarahan hebat. Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala
neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya
pengaliran perdarahan ini adalah: 1) sakit kepala yang menetap 2) rasa
mengantuk yang hilang-timbul 3) linglung 4) perubahan ingatan 5) kelumpuhan
ringan pada sisi tubuh yang berlawanan. Arteri-arteri meningea terletak antara
dura mater dan permukaan dalam dari kranium ruang epidural. Adanya fraktur dari tulang kepala
dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami
cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa media fosa
temporalis. Hematoma
epidural diatasi
sesegera mungkin dengan membuat lubang di dalam tulang tengkorak untuk
mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan pencarian dan penyumbatan sumber
perdarahan.
b. Selaput Arakhnoid
Selaput
arakhnoid
merupakan lapisan yang tipis dan
tembus pandang. Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah
dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan
dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural
dan dari pia mater oleh spatium
subarakhnoid yang
terisi oleh liquor serebrospinalis . Perdarahan sub
arakhnoid umumnya
disebabkan akibat cedera kepala.
c. Pia
mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks
serebri. Pia mater adalah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak,
meliputi gyri
dan masuk kedalam sulci
yang paling dalam. Membrana
ini membungkus saraf otak dan
menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam
substansi otak juga diliputi oleh pia mater.
3. Otak
Menurut
Ganong, (2002); price, (2005), otak terdiri dari 3 bagian, antara lain yaitu:
a.
Cerebrum
Gambar 3. Lobus-lobus Otak
Serebrum
atau otak besar terdiri dari dari 2 bagian, hemispherium serebri kanan dan
kiri. Setiap henispher dibagi dalam 4 lobus yang terdiri dari lobus frontal,
oksipital, temporal dan pariental. Yang masing-masing lobus memiliki fungsi
yang berbeda, yaitu:
1)
Lobus frontalis Lobus frontalis pada korteks serebri terutama
mengendalikan keahlian motorik misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat
tali sepatu. Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan. daerah tertentu
pada lobus
frontalis bertanggung
jawab terhadap aktivitas motorik tertentu pada sisi
tubuh yang berlawanan. Efek perilaku
dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada ukuran dan lokasi
kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya
mengenai satu sisi otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku
yang nyata, meskipun kadang menyebabkan kejang. Kerusakan luas
yang mengarah ke bagian belakang lobus
frontalis bisa
menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia. Kerusakan luas yang mengarah ke
bagian depan atau samping lobus frontalis menyebabkan perhatian penderita
mudah teralihkan, kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar dan
kejam.
2) Lobus
parietalis
Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan
kesan dari bentuk, tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum Sejumlah
kecil kemampuan matematikan dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus
parietalis juga
membantu mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan posisi dari
bagian tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian depan lobus
parietalis menyebabkan
mati rasa pada sisi tubuh yang berlawanan. Kerusakan yang agak luas bisa
menyebabkan hilangnya kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan keadaan
ini disebut ataksia dan untuk menentukan arah
kiri-kanan. Kerusakan yang luas bisa
mempengaruhi kemampuan penderita dalam mengenali bagian tubuhnya atau ruang di
sekitarnya atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan bentuk yang sebelumnya
dikenal dengan baik misalnya, bentuk kubus atau jam dinding. Penderita bisa
menjadi linglung atau mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun melakukan
pekerjaan sehari-hari lainnya.
3) Lobus
temporalis
Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja
terjadi menjadi dan mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga memahami suara dan gambaran,
menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur emosional.
Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan menyebabkan
terganggunya ingatan akan suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus
temporalis sebelah
kiri menyebabkan gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari dalam
dan menghambat penderita dalam mengekspresikan bahasanya. Penderita dengan lobus
temporalis sebelah
kanan yang non dominan, akan mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka
bercanda, tingkat kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan
gairah seksual.
4) Lobus
Oksipital
Fungsinya
untuk visual center. Kerusakan pada lobus ini otomatis akan kehilangan fungsi
dari lobus itu sendiri yaitu penglihatan.
b.
Cereblum
Terdapat
dibagian belakang kranium menepati fosa serebri posterior dibawah lapisan durameter. Cereblum mempunyai aski yaitu;
merangsang dan menghambat serta
mempunyai tanggunag jawab yang luas terhadap koordinasi dan gerakan
halus. Ditambah mengontrol gerakan yang benar, keseimbangan posisi dan
mengintegrasikan input sensori.
c.
Brainstem
Batang
otak terdiri dari otak tengah, pons dan medula
oblomata. Otak tengah
midbrain/
ensefalon menghubungkan
pons
dan sereblum dengan hemisfer
sereblum. Bagian
ini berisi jalur sensorik dan motorik, sebagai pusat reflek pendengaran dan
penglihatan. Pons terletak didepan sereblum antara
otak tengah dan medula, serta merupakan jembatan antara 2 bagian sereblum dan juga
antara medulla dengan serebrum. Pons berisi jarak sensorik dan motorik. Medula oblomata membentuk bagian inferior
dari batang otak, terdapat
pusatpusat otonom yang mengatur fungsi-fungsi vital seperti pernafasan, frekuensi
jantung, pusat muntah, tonus vasomotor, reflek batuk dan bersin.
4.
Syaraf-Syaraf Otak
Suzanne
C Smeltzer, (2001) Nervus kranialis dapat terganggu bila trauma kepala
meluas sampai batang otak karena edema otak atau pendarahan otak. Kerusakan
nervus yaitu:
a.
Nervus Olfaktorius (Nervus Kranialis I)
Saraf
pembau yang keluar dari otak dibawa oleh dahi, membawa rangsangan aroma
(bau-bauan) dari rongga hidung ke otak.
b.
Nervus Optikus (Nervus Kranialis II)
Mensarafi
bola mata, membawa rangsangan penglihatan ke otak.
c. Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III)
Bersifat
motoris, mensarafi otot-otot orbital (otot pengerak bola mata) menghantarkan
serabut-serabut saraf para simpati untuk melayani otot siliaris dan otot iris.
d.
Nervus
Trokhlearis (Nervus
Kranialis IV)
Bersifat
motoris, mensarafi otot-otot orbital. Saraf pemutar mata yang pusatnya terletak
dibelakang pusat saraf penggerak mata.
e. Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V)
Sifatnya
majemuk (sensoris motoris) saraf ini mempunyai tiga buah cabang. Fungsinya sebagai saraf kembar tiga,
saraf ini merupakan saraf otak besar, sarafnya yaitu:
1)
Nervus
oftalmikus: sifatnya
sensorik, mensarafi kulit kepala bagian depan kelopak mata atas, selaput lendir
kelopak mata dan bola mata.
2)
Nervus
maksilaris: sifatnya
sensoris, mensarafi gigi atas, bibir atas, palatum,
batang hidung, ronga hidung dan sinus
maksilaris.
3)
Nervus
mandibula: sifatnya
majemuk (sensori dan motoris) mensarafi otot-otot pengunyah. Serabut-serabut
sensorisnya mensarafi gigi bawah, kulit daerah temporal dan dagu.
f. Nervus Abducens (Nervus Kranialis VI)
Sifatnya
motoris, mensarafi otot-otot orbital. Fungsinya sebagai saraf penggoyang sisi
mata
g. Nervus
Fasialis (Nervus
Kranialis VII)
Sifatnya
majemuk (sensori dan motori) serabut-serabut motorisnya mensarafi otot-otot
lidah dan selaput lendir ronga mulut. Di dalam saraf ini terdapat
serabut-serabut saraf otonom (parasimpatis) untuk wajah dan kulit kepala
fungsinya sebagai mimik wajah untuk menghantarkan rasa pengecap.
h. Nervus
Akustikus (Nervus
Kranialis VIII)
Sifatnya
sensori, mensarafi alat pendengar, membawa rangsangan dari pendengaran dan dari
telinga ke otak. Fungsinya sebagai saraf pendengar.
i. Nervus
Glosofaringeus (Nervus
Kranialis IX)
Sifatnya
majemuk (sensori dan motoris) mensarafi faring, tonsil dan lidah, saraf ini
dapat membawa rangsangan cita rasa ke otak.
j. Nervus
Vagus (Nervus
Kranialis X)
Sifatnya
majemuk (sensoris dan motoris) mengandung saraf-saraf motorik, sensorik dan
parasimpatis faring, laring, paru-paru, esofagus, gaster intestinum minor,
kelenjar-kelenjar pencernaan dalam abdomen. Fungsinya sebagai saraf perasa.
k. Nervus
Aksesorius (Nervus
Kranialis XI),
Saraf
ini mensarafi muskulus sternokleidomastoid dan muskulus trapezium, fungsinya sebagai saraf tambahan
L.
Nervus
Hipoglosus (Nervus
Kranialis XII)
Saraf
ini mensarafi otot-otot lidah, fungsinya sebagai saraf lidah. Sarafini terdapat
di dalam sumsum penyambung.
C.
ETIOLOGI DAN PREDISPOSISI
Rosjidi
(2007), penyebab cedera kepala antara lain:
1.
Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
2.
Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
3.
Cedera akibat kekerasan.
4.
Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek otak.
5.
Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya.
6.
Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek otak, misalnya tertembak
peluru atau benda tajam.
D.
PATOFISIOLOGI
Cedera
memang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya konsekuensi
patofisiologis dari suatu kepala. Cedera percepatan aselerasi
terjadi jika benda yang sedang
bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda
tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan deselerasi
adalah bila kepala membentur objek
yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua
kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala
tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat.
Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang
menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
Berdasarkan
patofisiologinya, kita mengenal dua macam cedera otak, yaitu cedera otak primer
dan cedera otak sekunder. Cedera otak primer adalah cedera yang terjadi saat
atau bersamaan dengan kejadian trauma, dan merupakan suatu fenomena mekanik.
Umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa kita lakukan kecuali
membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa mengalami proses
penyembuhan yang optimal. Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan,
mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera
robekan atau hemoragi karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat
lahir yang bisa mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh sistem dalam
tubuh.
Sedangkan
cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan sesudah
atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih merupakan fenomena
metabolik sebagai
akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral
dikurangi atau tak ada pada area cedera. Cidera kepala terjadi karena beberapa
hal diantanya, bila trauma ekstra kranial akan dapat menyebabkan adanya
leserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai pembuluh
darah. Karena perdarahan yang terjadi terus- menerus dapat menyebabkan hipoksia,
hiperemi peningkatan
volume darah pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi
intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK), adapun,
hipotensi (Soetomo, 2002). Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan
menyebabkan robekan dan terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intra kranial
dapat mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan
bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial tertama motorik yang
mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas (Brain, 2009).
E.
MANIFESTASI KLINIK
Gejala-gejala
yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi cedera otak.
1. Cedera
kepala ringan menurut Sylvia A (2005)
a.
Kebingungan
saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah cedera.
b.
Pusing
menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
c. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa,
gangguan bicara, masalah tingkah laku Gejala-gejala ini dapat menetap selama
beberapa hari, beberapa minggu atau lebih lama setelah konkusio
cedera otak akibat trauma ringan.
2. Cedera
kepala sedang, Diane C (2002)
a.
Kelemahan
pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebinggungan atau bahkan koma.
b. Gangguan kesedaran, abnormalitas
pupil, awitan tiba-tiba deficit neurologik, perubahan TTV, gangguan penglihatan
dan pendengaran, disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo dan
gangguan pergerakan.
3. Cedera
kepala berat, Diane C (2002)
a.
Amnesia
tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya penurunan
kesehatan.
b.
Pupil
tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya cedera terbuka, fraktur
tengkorak dan penurunan neurologik.
c.
Nyeri,
menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.
d.
Fraktur
pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area tersebut.
F. KOMPLIKASI
Rosjidi
(2007), kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari perluasan hematoma
intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak, komplikasi dari cedera
kepala addalah;
1. Edema
pulmonal
Komplikasi
yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi mungkin berasal dari
gangguan neurologis atau akibat sindrom distress pernafasan dewasa. Edema paru
terjadi akibat refleks cushing/perlindungan yang berusaha
mempertahankan tekanan perfusi dalam keadaan konstan. Saat tekanan intrakranial
meningkat tekanan darah sistematik meningkat untuk mencoba mempertahankan
aliran darah keotak, bila keadaan semakin kritis, denyut nadi menurun bradikardi
dan bahkan frekuensi respirasi
berkurang, tekanan darah semakin meningkat. Hipotensi akan memburuk keadan, harus
dipertahankan tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang membutuhkan tekanan
sistol 100-110 mmHg, pada penderita kepala. Peningkatan vasokonstriksi
tubuh secara umum menyebabkan lebih
banyak darah dialirkan ke paru, perubahan permiabilitas pembulu darah paru
berperan pada proses berpindahnya cairan ke alveolus. Kerusakan difusi oksigen
akan karbondioksida dari darah akan menimbulkan peningkatan TIK lebih lanjut.
2.
Peningkatan TIK
Tekana
intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15 mmHg dan herniasi
dapat terjadi pada tekanan diatas 25
mmHg. Tekanan darah yang mengalir dalam otak disebut sebagai tekan perfusi
rerebral. Yang
merupakan komplikasi serius dengan akibat herniasi dengan gagal pernafasan dan gagal
jantung serta kematian.
3. Kejang
Kejang
terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase akut. Perawat
harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan menyediakan spatel
lidah yang diberi bantalan atau jalan nafas oral disamping tempat tidur klien,
juga peralatan penghisap. Selama kejang, perawat harus memfokuskan pada upaya
mempertahankan, jalan nafas paten dan mencegah cedera lanjut. Salah satunya
tindakan medis untuk mengatasi kejang
adalah pemberian obat, diazepam merupakan obat yang paling banyak digunakan dan
diberikan secara perlahan secara intavena. Hati-hati terhadap efek pada system
pernafasan, pantau selama pemberian diazepam, frekuensi dan irama pernafasan.
4.
Kebocoran cairan serebrospinalis
Adanya
fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus
frontal atau dari
fraktur tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan merobek meninges, sehingga CSS akan keluar. Area drainase
tidak boleh dibersihkan, diirigasi atau dihisap, cukup diberi bantalan steril
di bawah hidung atau telinga. Instruksikan klien untuk tidak memanipulasi
hidung atau telinga.
5. Infeksi
G. PENETALAKSAANAN
1. Dexamethason/ kalmetason sebagai
pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
2. Therapi hiperventilasi (trauma
kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi.
3. Pemberian analgetik.
4. Pengobatan antiedema dengan larutan
hipertonis yaitu; manitol 20%, glukosa 40% atau gliserol.
5. Antibiotik yang mengandung barier
darah otak (pinicilin) atau untuk infeksi anaerob diberikan metronidazole.
6. Makanan atau caioran infus dextrose
5%, aminousin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari
kemudian diberikan makanan lunak.
7. Pembedahan. (Smelzer, 2001).
2. KONSEP SUBDURAL HEMATOMA
A. Definisi
Epidural Dan Subdural Hematom Traumatik
Epidural Hematom
adalah perdarahan intrakranial yang terjadi karena fraktur tulang tengkorak
dalam ruang antara tabula interna kranii dengan duramater..Hematoma
epiduralmerupakan gejala sisa yang serius akibat cedera kepala dan menyebabkan
angka mortalitas sekitar 50%. Hematoma epidural paling sering terjadi di daerah
perietotemporal akibat robekan arteria meningea media, Price. S, 2002.
Gambar 4.
Epidural hematom dan subdural hematom (Tito. R.T, 2011)
Subdural Hematoma adalah perdarahan yang terjadi antara durameter dan
araknoid biasanya sering didaerah frontal, pariental dan temporal. Pada
subdural hematoma yang seringkali mengalami perdarahan ialah “bridgingvein”,
karena tarikan ketika terjadi pergeseran rotatorik pada otak perdarahan
subdural yang paling sering terjadi pada permukaan lateral dan atas hemisferium
dan sebagian daerah temporal, sesuai dengan distribusi” bridgingvein”
(Mardjono, 2005).
B. ETIOLOGI
Epidural hematom
utamanya disebabkan oleh gangguan struktur duramater dan pembuluh darah kepala
biasanya karena fraktur.Akibat trauma kapitis,tengkorak retak.Fraktur yang
paling ringan, ialah fraktur linear. Jika gaya destruktifnya lebih kuat, bisa
timbul fraktur yang berupa bintang (stelatum), atau fraktur impresi yang dengan
kepingan tulangnya menusuk ke dalam ataupun fraktur yang merobek dura dan
sekaligus melukai jaringan otak (laserasio).Pada pendarahan epidural yang terjadi
ketika pecahnya pembuluh darah, biasanya arteri, yang kemudian mengalir ke
dalam ruang antara duramater dan tengkorak.
Gambar 3. Coup
and countercoup lesion (Woody.S, 2012)
Sedangkan pada
subdural hematom. keadaan ini timbul setelah trauma kepala hebat, seperti
perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam
ruangan subdural . Pergeseran otak pada akselerasi dan de akselerasi bisa
menarik dan memutuskan vena-vena.Pada waktu akselerasi berlangsung, terjadi 2
kejadian, yaitu akselerasi tengkorak ke arah dampak dan pergeseran otak ke arah
yang berlawanan dengan arah dampak primer.Akselerasi kepala dan pergeseran otak
yang bersangkutan bersifat linear.Maka dari itu lesi-lesi yang bisaterjadi
dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio dibawah dampak disebut lesi kontusio
“coup” di seberang dampak tidak terdapat gaya kompresi, sehingga di situ tidak
terdapat lesi. Jika di situ terdapat lesi, maka lesi itu di namakan lesi
kontusio “contercoup” Mardjono, 2005.
C. PATOMEKANISME
Pada perlukaan
kepala , dapat terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid, kedalam rongga
subdural (hemoragi subdural) antara dura bagian luar dan tengkorak (hemoragi
ekstradural) atau ke dalam substansi otak sendiri.
Pada hematoma
epidural, perdarahan terjadi diantara tulang tengkorak dan dura mater.
Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila slaah satu cabang
arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi buka fraktur tulang
tengkorak di daerah yang bersangkutan. Hematom pun dapat terjadi di daerah
frontal dan oksipital, Ersay dan Gillet, 2013.
Putusnya
vena-vena penghubung antara permukaan otak dan sinus dural adalah penyebab
perdarahan subdural yang paling sering terjadi. Perdarahan ini seringkali
terjadi sebagai akibat dari trauma yang relatif kecil, dan mungkin terdapat
sedikit darah di dalam rongga subaraknoid. Anak-anak ( karena anak-anak
memiliki vena-vena yang halus ) dan orang dewasa dengan atropi otak ( karena
memiliki vena-vena penghubung yang lebih panjang ) memiliki resiko yang lebih
besar.
Perdarahan
subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral dan atas hemisferium dan
sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi “bridging veins” . Karena
perdarahan subdural sering disebabkan olleh perdarahan vena, maka darah yang
terkumpul hanya 100-200 cc saja. Perdarahan vena biasanya berhenti karena
tamponade hematom sendiri. Setelah 5-7 hari hematom mulai mengadakan
reorganisasi yang akan terselesaikan dalam 10-20 hari. Darah yang diserap
meninggalkan jaringan yang kaya pembuluh darah. Disitu timbul lagi perdarahan
kecil, yang menimbulkan hiperosmolalitas hematom subdural dan dengan demikian
bisa terulang lagi timbulnya perdarahan kecil dan pembentukan kantong subdural
yang penuh dengan cairan dan sisa darah (higroma). Kondisi –kondisi abnormal
biasanya berkembang dengan satu dari tiga mekanismes, Price, 2002).
Terdapat 2 teori
yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori dari
Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair sehingga
akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural
hematoma dan akan menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul
subdural hematoma. Karena tekanan onkotik yang meningkat inilah yang
mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut. Tetapi ternyata ada
kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari penelitian didapatkan
bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata hasilnya normal yang
mengikuti hancurnya sel darah merah.
Teori yang ke
dua mengatakan bahwa, perdarahan berulang yangdapat mengakibatkan terjadinya
perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis juga ditemukan dapat
meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, karena turut memberi
bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar membran atau kapsul
dari subdural hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim
fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat menyebabkan
terjadinya perdarahan subdural kronik, Justin. M, 2010.
D.
GEJALA KLINIS
Gejala yang sangat
menonjol pada epidural hematom adalah kesadaran menurun secara progresif.
Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memardisekitar mata dan
dibelakang telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung
dan telingah. Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat
dari cedera kepala. Banyak gejala yang timbul akibat dari cedera kepala. Gejala
yang sering tampak : Sitorus.S.M, 2004.
1.
Penurunan kesadaran , bisa sampai koma
2.
Bingung
3.
Penglihatan kabur
4. Susah bicara
5.
Nyeri kepala yang hebat
6.
Keluar cairan dari hidung dan telingah
7.
Mual
8.
Pusing
9. Berkeringat
Gejala yang
timbul pada subdural :
E.
Subdural Hematoma Akut
1)
Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma
sampai dengan hari ke tiga
2)
Biasanya terjadi pada
cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih lanjut
pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya
Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar
luas
3)
Secara klinis subdural
hematom akut ditandai dengan penurunan kesadaran, disertai adanya lateralisasi
yang paling sering berupa hemiparese/plegi
4)
pada pemeriksaan radiologis (CT Scan) didapatkan gambaran
hiperdens yang berupa bulan sabit
F.
Subdural Hematoma Subakut
1)
Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar hari ke 3 –
minggu ke 3 sesudah trauma
2)
Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan
kapsula di sekitarnya
3)
adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran,
selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan.
4)
Namun jangka waktu
tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk.
5)
Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa
jam.
6)
Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran
hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan
respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri.
G.
Subdural Hematoma Kronis
1)
Biasanya terjadi setelah minggu ketiga
2)
SDH kronis biasanya terjadi pada orang tua
3)
Trauma yang menyebabkan perdarahan yang akan membentuk
kapsul, saat tersebut gejala yang terasa Cuma pusing.
4)
Kapsul yang terbentuk
terdiri dari lemak dan protein yang mudah menyerap cairan dan mempunyai sifat
mudah ruptur.
5)
Karena penimbunan cairan tersebut kapsul terus membesar dan
mudah ruptur, jika volumenya besar langsung menyebabkan lesi desak ruang.
Jika volume
kecil akan menyebabkan kapsul terbentuk lagi >> menimbun cairan >>
ruptur lagi >> re-bleeding. Begitu seterusnya sampai suatu saat pasien
datang dengan penurunan kesadaran tiba-tiba atau hanya pelo atau lumpuh
tiba-tiba.
H.
DIAGNOSIS
Dengan CT-scan
dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma kepala lebih mudah dikenali.
Foto Polos
Kepala
Pada foto polos
kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai epidural hematoma. Dengan
proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan sisi yang mengalami trauma pada
film untuk mencari adanya fraktur tulang yang memotong sulcus arteria
meningea media.
Computed
Tomography (CT-Scan)
Pemeriksaan
CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan potensi cedara intracranial
lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja (single) tetapi dapat
pula terjadi kepada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonfeks, paling sering
di daerah temporoparietal. Densitas darah yang homogeny atau (hiperdens)
berbatas tegak, midline terdorong ke sisi kontralateral. Terdapat pula garis
pada area epidural hematoma, Densitas yang tinggi pada stage yang akut (60-90
HU), ditandai dari adanya pergangan dari pembuluh
darah.
Gambar
5.Epidural hematom 5 Gambar 6.Subdural hematom 6
Magnetic
Resonance Imaging (MRI)
MRI akan
menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser posisi duramater,
berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat menggambarkan
batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis pemeriksaan yang
dipilih untuk menegakkan diagnosis. Leon J & Maria J, 2010.
Gambar 7. Subdural Hematoma
I. PENATALAKSANAAN
1)
EPIDURAL HEMATOM
Penanganan
darurat :
i.
Dekompresi dengan trepanasi sederhana
ii.
Kraniotomi untuk
mengevakuasi hematom
Terapi
medikamentosa
1.
Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital
Usahakan agar
jalan nafas selalu babas, bersihkan lendir dan darah yang dapat menghalangi
aliran udara pemafasan. Bila perlu dipasang pipa naso/orofaringeal dan
pemberian oksigen. Infus dipasang terutama untuk membuka jalur intravena :
guna-kan cairan NaC10,9% atau Dextrose in saline
2. Mengurangi
edema otak
Beberapa cara
dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:
a.
Hiperventilasi.
Bertujuan untuk
menurunkan paO2 darah sehingga mencegah vasodilatasi pembuluh darah. Selain itu
suplai oksigen yang terjaga dapat membantu menekan metabolisme anaerob,
sehingga dapat mengurangi kemungkinan asidosis. Bila dapat diperiksa, paO2
dipertahankan > 100 mmHg dan paCO2 diantara 2530 mmHg.
b. Cairan
hiperosmoler.
Umumnya
digunakan cairan Manitol 1015% per infus untuk “menarik” air dari ruang
intersel ke dalam ruang intra-vaskular untuk kemudian dikeluarkan melalui
dieresis. Untuk mempoleh efek yang dikehendaki, manitol hams diberikan dalam
dosis yang cukup dalam waktu singkat, umumnya diberikan : 0,51 gram/kg BB dalam
10-30 menit.
Cara ini berguna
pada kasus-kasus yang menunggu tindak-an bedah. Pada kasus biasa, harus
dipikirkan kemungkinan efek rebound; mungkin dapat dicoba diberikan
kembali (diulang) setelah beberapa jam atau keesokan harinya.
c.
Kortikosteroid.
Penggunaan
kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak beberapa waktu yang lalu.
Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan bahwa kortikosteroid tidak/kurang
ber-manfaat pada kasus cedera kepala. Penggunaannya berdasarkan pada asumsi
bahwa obat ini menstabilkan sawar darah otak.
Dosis parenteral
yang pernah dicoba juga bervariasi :
Dexametason
pernah dicoba dengan dosis sampai 100 mg bolus yang diikuti dengan 4 dd 4 mg.
Selain itu juga Metilprednisolon pernah digunakan dengan dosis 6 dd 15 mg dan
Triamsinolon dengan dosis 6 dd 10 mg.
d. Barbiturat.
Digunakan untuk
membius pasien sehingga metabolisme otak dapat ditekan serendah mungkin,
akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena kebutuhan yang rendah,
otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan kemsakan akibat hipoksi,
walaupun suplai oksigen berkurang. Cara ini hanya dapat digunakan dengan
pengawasan yang ketat, Price, 2002.
J.
INDIKASI
Operasi di
lakukan bila terdapat :
1.
Volume hamatom > 30 ml
2.
Keadaan pasien
memburuk
3.
Pendorongan garis tengah > 5 mm
4.
fraktur tengkorak
terbuka, dan fraktur tengkorak depres dengan kedalaman >1 cm
5.
EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis
tengah dengan GCS 8 atau kurang
6.
Tanda-tanda lokal dan peningkatan TIK > 25 mmHg
2)
SUBDURAL HEMATOM
Dalam menentukan
terapi apa yang akan digunakan pada pasien SDH, tentu kita harus memperhatikan antara
kondisi klinis dengan radiologinya. Dalam masa mempersiapkan operasi,
perhatiaan hendaknya ditujukan kepada pengobatan dengan medika mentosa untuk
menurunkan peningkatan tekanan intracranial. Seperti pemberian mannitol 0,25
gr/kgBBatau furosemide 10 mg intavena, dihiperventilasikan.
Tidakan operatif
Baik pada kasus
akut maupun kronik, apabila diketemukan ada gejala- gejala yang progresif maka
jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan pengeluaran hematom. Tetapi
seblum diambil kepetusan untuk tindakan operasi yang harus kita perhatikan
adalah airway, breathing, dan circulatioan.
Kriteria
penderita SDH dilakukan operasi adalah
a. Pasien SDH
tanpa melihat GCS, dengan ketebalan >10 mm atau pergeseran midline shift
>5 mm pada CT-Scan
b.
Semua pasien SDH dengan GCS <9 harus dilakukan monitoring TIK
c. Pasien SDH dengan GCS <9, dengan ketebalan perdarahan
<10 mm dan pergerakan struktur midline shift. Jika mengalami penurunan GCS
>2 poin antara saat kejadian sampai saat masuk rumah sakit.
d.
Pasien SDH dengan GCS<9, dan atau didapatkan pupil dilatasi asimetris/fixed
e. Pasien SDH
dengan GCS < 9, dan /atau TIK >20 mmhg
Tindakan
operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole craniotomy. Tindakan yang paling
banyak diterima karena minimal komplikasi. Trepanasi atau burr holes
dimaksudkan untuk mengevakuasi SDH secara cepat dan local anastesi Kraniotomi
dan membranektomi merupakan tindakan prosedur bedah yang infasih dengan tingkat
komplikasi yang lebih tinggi.
K. KOMPLIKASI
Hematoma
epidural dapat memberikan komplikasi :
1. Edema serebri, merupakan keadaan gejala patologis,
radiologis di mana keadaan ini
mempunyai peranan yang sangat bermakna pada kejadian pergeseran otak (brain shift) dan peningkatan tekanan intracranial.
mempunyai peranan yang sangat bermakna pada kejadian pergeseran otak (brain shift) dan peningkatan tekanan intracranial.
2. Kompresi
batang otak.
Subdural hematom
dapat memberikan komplikasi berupa :
1.
Hemiparese/hemiplegia.
2.
Disfasia/afasia
3. Epilepsi.
4. Hidrosepalus.
5. Subdural
empiema
L. PROGNOSIS
Prognosis
Epidural Hematoma Tergantung Pada:
1.
Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )
2.
Besarnya
3.
Kesadaran saat masuk kamar operasi.
Jika ditangani
dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik, karena kerusakan otak
secara menyeluruh dapat dibatasi. Prognosis sangat buruk pada pasien yang
mengalami koma sebelum operasi.
Prognosis dari
penderita SDH ditentukan dari:
1.
GCS awal saat operasi
2.
lamanya penderita datang sampai dilakukan operasi
3.
lesi penyerta di
jaringan otak
4.
serta usia penderita
pada penderita
dengan GCS kurang dari 8 prognosenya 50 %, makin rendah GCS, makin jelek
prognosenya makin tua pasien makin jelek prognosenya adanya lesi lain akan
memperjelek prognosenya.
3. KONSEP KEGAWATDARURATAN INJURY
Perawatan
pada pasien yang mengalami injuri oleh tim trauma agak berbeda dengan
pengobatan secara tradisional, di mana penegakan diagnosa, pengkajian dan
manajemen penatalaksanaan sering terjadi secara bersamaan dan dilakukan oleh
dokter yang lebih dari satu. Seorang leader tim harus langsung memberikan
pengarahan secara keseluruhan mengenai penatalaksanaan terhadap pasien yang
mengalami injuri, yang meliputi (Fulde, 2009) :
1. Primary survey
2. Resuscitation
3. History
4. Secondary survey
5. Definitive care
A.
Primary Survey
Primary survey
menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan manajemen segera
terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam kehidupan. Tujuan
dari Primary
survey adalah untuk mengidentifikasi dan memperbaiki dengan segera masalah
yang mengancam kehidupan. Prioritas yang dilakukan pada primary survey antara lain (Fulde, 2009) :
a. Airway maintenance
dengan cervical spine protection
b. Breathing
dan oxygenation
c. Circulation
dan kontrol perdarahan eksternal
d. Disability-pemeriksaan
neurologis singkat
e. Exposure
dengan kontrol lingkungan
Sangat penting untuk ditekankan pada
waktu melakukan primary survey bahwa
setiap langkah harus dilakukan dalam urutan yang benar dan langkah berikutnya
hanya dilakukan jika langkah sebelumnya telah sepenuhnya dinilai dan berhasil.
Setiap anggota tim dapat melaksanakan tugas sesuai urutan sebagai sebuah tim
dan anggota yang telah dialokasikan peran tertentu seperti airway, circulation, dll,
sehingga akan sepenuhnya menyadari mengenai pembagian waktu dalam keterlibatan
mereka (American College of Surgeons,
1997). Primary survey perlu terus
dilakukan berulang-ulang pada seluruh tahapan awal manajemen. Kunci untuk
perawatan trauma yang baik adalah penilaian yang terarah, kemudian diikuti oleh
pemberian intervensi yang tepat dan sesuai serta pengkajian ulang melalui
pendekatan AIR (assessment, intervention,
reassessment).
Primary survey dilakukan
melalui beberapa tahapan, antara lain (Gilbert., D’Souza., &
Pletz,
2009) :
General
Impressions
a)
Memeriksa kondisi yang mengancam nyawa
secara umum.
b)
Menentukan keluhan utama atau mekanisme cedera
c)
Menentukan status mental dan orientasi
(waktu, tempat, orang)
1)
Pengkajian Airway
Tindakan
pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas pasien dengan
mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya sumbatan jalan
nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien
terbuka (Thygerson, 2011). Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan bantuan airway
dan ventilasi. Tulang belakang leher harus dilindungi selama intubasi
endotrakeal jika dicurigai terjadi cedera pada kepala, leher atau dada.
Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan oleh obstruksi lidah pada
kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian
airway pada pasien antara lain :
a) Kaji
kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau bernafas
dengan bebas?
1.
Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan
nafas pada pasien antara lain:
a.
Adanya
snoring atau gurgling
b.
Stridor atau suara napas tidak normal
c.
Agitasi (hipoksia)
d.
Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements
e.
Sianosis
b). Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan
potensial penyebab obstruksi :
1.
Muntahan
2.
Perdarahan
3.
Gigi lepas atau hilang
4.
Gigi palsu
5.
Trauma wajah
c). Jika terjadi
obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.
d). Lindungi
tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang berisiko untuk
mengalami cedera tulang belakang.
1. Gunakan
berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai indikasi :
a.
Chin
lift/jaw thrust
b.
Lakukan suction (jika tersedia)
c.
Oropharyngeal
airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal
Mask Airway
d.
Lakukan intubasi
2)
Pengkajian Breathing (Pernafasan)
Pengkajian
pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas dan keadekuatan
pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak memadai, maka
langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah: dekompresi dan drainase
tension pneumothorax/haemothorax, closure
of open chest injury dan ventilasi buatan (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian
breathing pada pasien antara lain :
a.
Look,
listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi pasien.
1)
Inspeksi dari tingkat pernapasan
sangat penting. Apakah ada tanda-tanda sebagai berikut : cyanosis, penetrating
injury, flail chest, sucking chest wounds, dan penggunaan
otot bantu pernafasan.
2)
Palpasi untuk
adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga, subcutaneous emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis haemothorax dan pneumotoraks.
3)
Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
b. Buka
dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.
c. Tentukan
laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut mengenai karakter
dan kualitas pernafasan pasien.
d. Penilaian
kembali status mental pasien.
e. Dapatkan
bacaan pulse oksimetri jika
diperlukan
f. Pemberian
intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau oksigenasi:
1)
Pemberian terapi oksigen
2)
Bag-Valve Masker
3)
Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan yang
benar), jika diindikasikan
4)
Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda
untuk advanced airway procedures
g.
Kaji adanya masalah pernapasan yang
mengancam jiwa lainnya dan berikan terapi sesuai kebutuhan.
3)
Pengkajian Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak
adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Hipovolemia adalah penyebab
syok paling umum pada trauma. Diagnosis shock didasarkan pada temuan klinis:
hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia, pucat, ekstremitas dingin,
penurunan capillary refill, dan
penurunan produksi urin. Oleh karena itu, dengan adanya tanda-tanda hipotensi
merupakan salah satu alasan yang cukup aman untuk mengasumsikan telah terjadi perdarahan
dan langsung mengarahkan tim untuk melakukan upaya menghentikan pendarahan.
Penyebab lain yang mungkin membutuhkan perhatian segera adalah: tension pneumothorax, cardiac tamponade,
cardiac, spinal shock dan anaphylaxis. Semua perdarahan eksternal
yang nyata harus diidentifikasi melalui paparan pada pasien secara memadai dan
dikelola dengan baik (Wilkinson & Skinner, 2000)..
Langkah-langkah dalam pengkajian
terhadap status sirkulasi pasien, antara lain :
a.
Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika
diperlukan.
b.
CPR harus terus dilakukan sampai
defibrilasi siap untuk digunakan.
c.
Kontrol perdarahan yang dapat mengancam
kehidupan dengan pemberian penekanan secara langsung.
d.
Palpasi nadi radial jika diperlukan:
1)
Menentukan ada atau tidaknya
2)
Menilai kualitas secara umum
(kuat/lemah)
3)
Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
4) Regularity
e.
Kaji kulit untuk melihat adanya
tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia (capillary
refill).
f.
Lakukan treatment terhadap hipoperfusi
4).
Pengkajian Level of Consciousness dan
Disabilities
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :
a.
A - alert,
yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah yang
diberikan
b.
V - vocalises,
mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bisa
dimengerti
c.
P - responds
to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika ekstremitas
awal
yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
d.
U - unresponsive
to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri
maupun
stimulus verbal.
5). Expose,
Examine dan Evaluate
Menanggalkan
pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien diduga memiliki
cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line penting untuk dilakukan.
Lakukan log roll ketika melakukan
pemeriksaan pada punggung pasien. Yang perlu diperhatikan dalam melakukan
pemeriksaan pada pasien adalah
mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua
pemeriksaan telah selesai dilakukan,
tutup pasien dengan selimut hangat dan jaga privasi pasien, kecuali jika
diperlukan pemeriksaan ulang (Thygerson, 2011).
Dalam situasi yang diduga telah terjadi
mekanisme trauma yang mengancam jiwa, maka Rapid
Trauma Assessment harus segera dilakukan:
a.
Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan
ekstremitas pada pasien
b.
Perlakukan setiap temuan luka baru yang
dapat mengancam nyawa pasien luka dan mulai melakukan transportasi pada pasien
yang berpotensi tidak stabil atau kritis. (Gilbert., D’Souza., & Pletz,
2009)
Alur
Primary Survey pada Pasien Medical (Pre-Hospital
Emergency Care Council, 2012) :
Alur
Primary Survey pada Pasien Trauma (Pre-Hospital
Emergency Care Council, 2012) :
B.
Secondary Assessment
Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan
secara head to toe, dari depan hingga belakang.
Secondary survey hanya dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam
artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok telah mulai membaik.
1. Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan
dari anamnesis riwayat pasien yang merupakan bagian penting dari pengkajian
pasien. Riwayat pasien meliputi keluhan utama, riwayat masalah kesehatan
sekarang, riwayat medis, riwayat keluarga, sosial, dan sistem. (Emergency
Nursing Association, 2007). Pengkajian riwayat pasien secara optimal
harus diperoleh langsung dari pasien, jika berkaitan dengan bahasa, budaya,
usia, dan cacat atau
kondisi pasien yang terganggu,
konsultasikan dengan anggota keluarga, orang terdekat,
atau orang yang pertama kali melihat kejadian. Anamnesis yang dilakukan harus
lengkap karena akan memberikan gambaran mengenai cedera yang mungkin diderita.
Beberapa contoh:
a.
Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil
tanpa sabuk pengaman: cedera wajah, maksilo-fasial, servikal. Toraks, abdomen
dan tungkai bawah.
b.
Jatuh dari pohon setinggi 6 meter
perdarahan intra-kranial, fraktur servikal atau vertebra lain, fraktur
ekstremitas.
c.
Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera
inhalasi, keracunan CO.
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang
bisa didapat dari pasien dan keluarga (Emergency
Nursing Association, 2007):
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti
obat-obatan, plester, makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang
diminum seperti sedang menjalani
pengobatan hipertensi,
kencing manis, jantung, dosis, atau penyalahgunaan obat
P : Pertinent
medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang pernah
diderita, obatnya apa,
berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal)
L : Last
meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi berapa
jam sebelum kejadian,
selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam komponen ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan
sebab cedera (kejadian yang
menyebabkan
adanya keluhan utama)
Ada beberapa cara lain untuk mengkaji
riwayat pasien yang disesuaikan dengan kondisi pasien. Pada pasien dengan
kecenderungan konsumsi alkohol, dapat digunakan beberapa pertanyaan di bawah
ini (Emergency Nursing Association,
2007):
1) C. have you ever felt should Cut down your drinking?
2) A. have people Annoyed you by criticizing
your drinking?
3) G. have you ever felt bad or Guilty about your drinking?
4) E. have you ever had a drink first
think in the morning to steady your nerver or get rid of a hangover (Eye-opener)
Jawaban
Ya pada beberapa kategori sangat
berhubungan dengan masalah konsumsi alkohol.
Pada
kasus kekerasan dalam rumah tangga akronim HITS dapat digunakan dalam proses
pengkajian. Beberapa pertanyaan yang diajukan antara lain : “dalam setahun
terakhir ini seberapa sering pasanganmu” (Emergency
Nursing Association, 2007):
1) Hurt you physically?
2) Insulted or talked down to you?
3) Threathened you with physical harm?
4) Screamed or cursed you?
Akronim PQRST ini digunakan untuk
mengkaji keluhan nyeri pada pasien yang meliputi :
1) Provokes/palliates :
apa yang menyebabkan nyeri? Apa yang membuat nyerinya lebih baik? apa yang
menyebabkan nyerinya lebih buruk? apa yang anda lakukan saat nyeri? apakah rasa
nyeri itu membuat anda terbangun saat tidur?
2) Quality
: bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya?apakah seperti diiris, tajam,
ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram, kolik, diremas? (biarkan pasien
mengatakan dengan kata-katanya sendiri.
3) Radiates:
apakah nyerinya menyebar? Menyebar kemana? Apakah nyeri terlokalisasi di satu
titik atau bergerak?
4) Severity
: seberapa parah nyerinya? Dari rentang
skala 0-10 dengan 0 tidak ada nyeri dan 10 adalah nyeri hebat
5) Time
: kapan nyeri itu timbul?, apakah onsetnya cepat atau lambat? Berapa lama nyeri
itu timbul? Apakah terus menerus atau hilang timbul?apakah pernah merasakan
nyeri ini sebelumnya?apakah nyerinya sama dengan nyeri sebelumnya atau berbeda?
Setelah dilakukan anamnesis, maka
langkah berikutnya adalah pemeriksaan tanda-tanda vital. Tanda tanda vital
meliputi suhu, nadi, frekuensi nafas, saturasi oksigen, tekanan darah, berat
badan, dan skala nyeri.
Berikut ini adalah ringkasan tanda-tanda
vital untuk pasien dewasa menurut Emergency
Nurses Association,(2007).
Komponen
|
Nilai normal
|
Keterangan
|
Suhu
|
36,5-37,5
|
Dapat di ukur melalui oral,
aksila, dan rectal. Untuk mengukur suhu inti menggunakan kateter arteri
pulmonal, kateter urin, esophageal probe, atau monitor tekanan intracranial
dengan pengukur suhu. Suhu dipengaruhi oleh aktivitas, pengaruh lingkungan,
kondisi penyakit, infeksi dan injury.
|
Nadi
|
60-100x/menit
|
Dalam pemeriksaan nadi perlu
dievaluais irama jantung, frekuensi, kualitas dan kesamaan.
|
Respirasi
|
12-20x/menit
|
Evaluasi dari repirasi meliputi
frekuensi, auskultasi suara nafas, dan inspeksi dari usaha bernafas. Tada
dari peningkatan usah abernafas adalah adanya pernafasan cuping hidung,
retraksi interkostal, tidak mampu mengucapkan 1 kalimat penuh.
|
Saturasi oksigen
|
>95%
|
Saturasi oksigen di monitor
melalui oksimetri nadi, dan hal ini penting bagi pasien dengan gangguan
respirasi, penurunan kesadaran, penyakit serius dan tanda vital yang
abnormal. Pengukurna dapat dilakukan di jari tangan atau kaki.
|
Tekanan darah
|
120/80mmHg
|
Tekana darah mewakili dari
gambaran kontraktilitas jantung, frekuensi jantung, volume sirkulasi, dan
tahanan vaskuler perifer. Tekanan sistolik menunjukkan cardiac output,
seberapa besar dan seberapa kuat darah itu dipompakan. Tekanan diastolic
menunjukkan fungsi tahanan vaskuler perifer.
|
Berat badan
|
Berat badan penting diketahui di
UGD karena berhubungan dengan keakuratan dosis atau ukuran. Misalnya dalam
pemberian antikoagulan, vasopressor, dan medikasi lain yang tergantung dengan
berat badan.
|
2. Pemeriksaan fisik
a.
Kulit
kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa. Sering terjadi pada penderita yang
datang dengan cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari
bagian belakang kepala penderita. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala
dan wajah untuk adanya pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur dan luka termal, ruam, perdarahan,
nyeri tekan serta adanya sakit
kepala (Delp
& Manning. 2004).
b.
Wajah
Ingat prinsip look-listen-feel. Inspeksi
adanya kesimterisan kanan dan kiri. Apabila terdapat cedera
di sekitar mata jangan lalai memeriksa
mata, karena pembengkakan di mata akan menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya
menjadi sulit. Re evaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS.
1) Mata : periksa kornea ada cedera atau
tidak, ukuran pupil
apakah
isokor atau anisokor serta bagaimana reflex cahayanya, apakah pupil mengalami miosis atau midriasis, adanya ikterus, ketajaman
mata (macies visus
dan acies campus), apakah konjungtivanya anemis atau adanya kemerahan,
rasa nyeri, gatal-gatal, ptosis,
exophthalmos, subconjunctival perdarahan, serta diplopia
2) Hidung : periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan
penciuman, apabila
ada deformitas
(pembengkokan) lakukan palpasi akan kemungkinan
krepitasi dari suatu fraktur.
3) Telinga
: periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan, penurunan
atau hilangnya pendengaran, periksa
dengan senter mengenai keutuhan membrane timpani atau adanya hemotimpanum
4) Rahang
atas : periksa stabilitas rahang
atas
5)
Rahang bawah : periksa akan adanya fraktur
6) Mulut dan faring : inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur, warna,
kelembaban, dan adanya
lesi; amati
lidah tekstur, warna, kelembaban, lesi, apakah tosil meradang, pegang dan tekan daerah pipi
kemudian rasakan apa ada massa/ tumor, pembengkakkan dan nyeri, inspeksi amati adanya tonsil meradang
atau tidak (tonsillitis/amandel). Palpasi
adanya
respon nyeri
c.
Vertebra
servikalis dan leher
Pada
saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang atau krepitasi, edema,
ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan
disfagia (kesulitan menelan) dan suara serak harus diperhatikan, cedera
tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan pemakaian otot tambahan. Palpasi akan
adanya nyeri, deformitas, pembekakan, emfisema subkutan, deviasi trakea, kekakuan pada leher dan simetris pulsasi.
Tetap jaga imobilisasi segaris dan proteksi servikal. Jaga airway, pernafasan, dan oksigenasi. Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak
sekunder..
d.
Toraks
Inspeksi : Inspeksi
dinding dada bagian depan, samping dan belakang
untuk
adanya trauma tumpul/tajam,luka,
lecet, memar, ruam , ekimosiss, bekas luka, frekuensi dan kedalaman pernafsan,
kesimetrisan expansi dinding dada, penggunaan otot
pernafasan tambahan dan ekspansi toraks bilateral, apakah terpasang pace maker, frekuensi dan irama denyut jantung, (lombardo, 2005)
Palpasi : seluruh dinding dada untuk adanya
trauma tajam/tumpul,emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
Perkusi : untuk mengetahui kemungkinan
hipersonor dan keredupan
Auskultasi : suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales)
dan bunyi
jantung (murmur, gallop,
friction rub)
e.
Abdomen
Cedera
intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis, misalnya pada keadaan cedera
kepala dengan penurunan kesadaran, fraktur vertebra dengan kelumpuhan
(penderita tidak sadar akan nyeri perutnya dan gejala defans otot dan nyeri
tekan/lepas tidak ada). Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang, untuk adanya
trauma tajam, tumpul dan adanya perdarahan internal, adakah distensi abdomen, asites, luka, lecet, memar, ruam,
massa, denyutan, benda tertusuk, ecchymosis, bekas luka , dan stoma. Auskultasi bising usus, perkusi abdomen, untuk
mendapatkan, nyeri lepas (ringan). Palpasi abdomen untuk mengetahui adakah kekakuan atau
nyeri tekan, hepatomegali,splenomegali,defans
muskuler,, nyeri lepas yang jelas atau uterus yang hamil. Bila ragu akan adanya
perdarahan intra abdominal, dapat dilakukan pemeriksaan DPL (Diagnostic peritoneal lavage, ataupun USG
(Ultra Sonography). Pada perforasi organ berlumen misalnya usus halus
gejala mungkin tidak akan nampak
dengan segera karena itu memerlukan re-evaluasi berulang kali. Pengelolaannya
dengan transfer penderita ke ruang operasi bila diperlukan (Tim YAGD 118,
2010).
f.
Pelvis
(perineum/rectum/vagina)
Cedera
pada pelvis yang berat akan nampak
pada pemeriksaan fisik (pelvis menjadi stabil), pada cedera berat
ini kemungkinan penderita akan masuk dalam keadaan syok, yang harus segera
diatasi. Bila ada indikasi pasang PASG/ gurita untuk mengontrol perdarahan dari fraktur
pelvis (Tim YAGD 118, 2010).
Pelvis dan perineum diperiksa akan
adanya luka, laserasi
, ruam, lesi, edema, atau kontusio,
hematoma, dan perdarahan uretra.
Colok dubur harus dilakukan sebelum memasang kateter uretra. Harus diteliti
akan kemungkinan adanya darah dari lumen rectum, prostat letak tinggi, adanya
fraktur pelvis, utuh tidaknya rectum dan tonus musculo sfinkter ani. Pada
wanita, pemeriksaan colok vagina dapat menentukan adanya darah dalam vagina
atau laserasi, jika terdapat perdarahan vagina dicatat, karakter dan jumlah kehilangan darah harus
dilaporkan (pada tampon yang penuh memegang 20 sampai 30 mL darah). Juga harus dilakuakn
tes kehamilan pada semua wanita usia subur. Permasalahan yang ada
adalah ketika terjadi kerusakan uretra pada wanita, walaupun jarang
dapat terjadi pada fraktur pelvis dan straddle
injury. Bila terjadi, kelainan ini sulit dikenali, jika pasien
hamil, denyut jantung janin (pertama kali mendengar dengan Doppler
ultrasonografi pada sekitar 10 sampai 12 kehamilan minggu) yang dinilai untuk frekuensi, lokasi, dan tempat. Pasien dengan keluhan kemih harus ditanya tentang rasa sakit atau
terbakar dengan buang air kecil, frekuensi, hematuria, kencing berkurang, Sebuah sampel urin harus diperoleh untuk
analisis.(Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).
g.
Ektremitas
Pemeriksaan dilakukan
dengan look-feel-move. Pada saat
inspeksi, jangan lupa untuk memriksa adanya luka dekat daerah fraktur (fraktur
terbuak), pada saat pelapasi jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi distal
dari fraktur pada saat menggerakan, jangan dipaksakan bila jelas fraktur. Sindroma kompartemen (tekanan intra
kompartemen dalam ekstremitas meninggi sehingga membahayakan aliran darah),
mungkin luput terdiagnosis pada penderita dengan penurunan kesadaran atau
kelumpuhan (Tim YAGD 118, 2010).
Inspeksi pula adanya kemerahan,
edema, ruam, lesi, gerakan, dan sensasi
harus diperhatikan, paralisis, atropi/hipertropi otot, kontraktur,
sedangkan pada jari-jari periksa adanya
clubbing finger serta catat
adanya nyeri tekan, dan hitung berapa detik kapiler refill (pada pasien hypoxia
lambat s/d 5-15 detik.
Penilaian
pulsasi dapat menetukan adanya gangguan vaskular. Perlukaan berat pada ekstremitas dapat
terjadi tanpa disertai fraktur.kerusakn ligament dapat menyebabakan sendi
menjadi tidak stabil, keruskan otot-tendonakan mengganggu pergerakan. Gangguan
sensasi dan/atau hilangnya kemampuan kontraksi otot dapat disebabkan oleh
syaraf perifer atau iskemia. Adanya fraktur
torako lumbal dapat dikenal pada pemeriksaan fisik dan riwayat trauma.
Perlukaan bagian lain mungkin menghilangkan gejala fraktur torako lumbal, dan
dalam keadaan ini hanya dapat didiagnosa dengan foto rongent. Pemeriksaan
muskuloskletal tidak lengkap bila belum dilakukan pemeriksaan punggung
penderita. Permasalahan yang muncul adalah
1)
Perdarahan dari fraktur pelvis dapat
berat dan sulit dikontrol, sehingga terjadi syok yang dpat berakibat fatal
2)
Fraktur pada tangan dan kaki sering
tidak dikenal apa lagi penderita dalam keadaan tidak sada. Apabila kemudian
kesadaran pulih kembali barulah kelainan ini dikenali.
3)
Kerusakan jaringan lunak sekitar sendi
seringkali baru dikenal setelah penderita mulai sadar kembali (Diklat RSUP Dr.
M.Djamil, 2006).
h.
Bagian
punggung
Memeriksa punggung
dilakukan dilakukan dengan log roll,
memiringkan penderita dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada saat ini
dapat dilakukan pemeriksaan punggung (Tim YAGD 118, 2010). Periksa`adanya perdarahan, lecet, luka, hematoma, ecchymosis,
ruam, lesi, dan edema serta nyeri, begitu pula pada
kolumna vertebra periksa adanya deformitas.
i.
Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang
diteliti meliputi pemeriksaan tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil,
oemeriksaan motorik dan sendorik. Peubahan dalam status neirologis dapat
dikenal dengan pemakaian GCS. Adanya paralisis dapat disebabakan oleh kerusakan
kolumna vertebralis atau saraf perifer. Imobilisasi penderita dengan short atau long spine board, kolar servikal, dan alat imobilisasi dilakukan
samapai terbukti tidak ada fraktur servikal. Kesalahan yang sering dilakukan
adalah untuk melakukan fiksasai terbatas kepada kepala dan leher saja, sehingga
penderita masih dapat bergerak dengan leher sebagai sumbu. Jelsalah bahwa
seluruh tubuh penderita memerlukan imobilisasi. Bila ada trauma kepala,
diperlukan konsultasi neurologis. Harus dipantau tingkat kesadaran penderita,
karena merupakan gambaran perlukaan intra cranial. Bila terjadi penurunan
kesadaran akibat gangguan neurologis, harus diteliti ulang perfusi oksigenasi,
dan ventilasi (ABC). Perlu adanya tindakan bila ada perdarahan epidural
subdural atau fraktur kompresi ditentukan ahli bedah syaraf (Diklat RSUP Dr.
M.Djamil, 2006).
Pada
pemeriksaan neurologis, inspeksi adanya kejang,
twitching, parese, hemiplegi atau hemiparese
(ganggguan pergerakan), distaksia (
kesukaran dalam mengkoordinasi otot), rangsangan meningeal dan kaji pula
adanya vertigo dan respon sensori
C. Focused
Assessment
Focused assessment
atau pengakajian terfokus adalah tahap pengkajian pada area keperawatan gawat
darurat yang dilakukan setelah primary
survey, secondary survey, anamnesis riwayat pasien (pemeriksaan subyektif) dan pemeriksaan obyektif (Head to toe). Di beberapa negara bagian
Australia mengembangkan focused
assessment ini dalam pelayanan di Emergency
Department, tetapi di beberapa Negara seperti USA dan beberapa Negara Eropa
tidak menggunakan istilah Focused
Assessment tetapi dengan istilah Definitive
Assessment (O’keefe et.al, 1998).
Focused assessment
untuk melengkapi data secondary assessment bisa dilakukan sesuai masalah yang
ditemukan atau tempat dimana injury ditemukan. Yang paling banyak dilakukan dalam tahap ini adalah
beberapa pemeriksaan penunjang diagnostik atau bahkan dilakukan pemeriksaan
ulangan dengan tujuan segera dapat dilakukan tindakan definitif.
D.
Reassessment
Beberapa
komponen yang perlu untuk dilakukan pengkajian kembali (reassessment) yang penting untuk melengkapi primary survey pada pasien
di gawat darurat adalah :
Komponen
|
Pertimbangan
|
Airway
|
Pastikan
bahwa peralatan airway : Oro Pharyngeal
Airway, Laryngeal Mask Airway , maupun Endotracheal Tube (salah satu dari peralatan airway) tetap
efektif untuk menjamin kelancaran jalan napas. Pertimbangkan penggunaaan
peralatan dengan manfaat yang optimal dengan risiko yang minimal.
|
Breathing
|
Pastikan
oksigenasi sesuai dengan kebutuhan pasien :
·
Pemeriksaan
definitive rongga dada dengan rontgen foto thoraks, untuk meyakinkan ada
tidaknya masalah seperti Tension pneumothoraks, hematotoraks atau trauma
thoraks yang lain yang bisa mengakibatkan oksigenasi tidak adekuat
·
Penggunaan
ventilator mekanik
|
Circulation
|
Pastikan
bahwa dukungan sirkulasi menjamin perfusi jaringan khususnya organ vital
tetap terjaga, hemodinamik tetap termonitor serta menjamin tidak terjadi over
hidrasi pada saat penanganan resusitasicairan.
·
Pemasangan
cateter vena central
·
Pemeriksaan
analisa gas darah
·
Balance
cairan
·
Pemasangan
kateter urin
|
Disability
|
Setelah
pemeriksaan GCS pada primary survey, perlu didukung dengan :
·
Pemeriksaan
spesifik neurologic yang lain seperti reflex patologis, deficit neurologi,
pemeriksaan persepsi sensori dan pemeriksaan yang lainnya.
·
CT
scan kepala, atau MRI
|
Exposure
|
Konfirmasi
hasil data primary survey dengan
·
Rontgen
foto pada daerah yang mungkin dicurigai trauma atau fraktur
·
USG
abdomen atau pelvis
|
E.
Pemeriksaan
Diagnostik
Pemeriksaan
lanjutan hanya dilakukan setelah ventilasi dan hemodinamika penderita dalam
keadaan stabil (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006). Dalam melakukan secondary survey, mungkin akan dilakukan
pemeriksaan diagnostik yang lebih spesifik seperti :
1)
Endoskopi
Pemeriksaan
penunjang endoskopi bisa dilakukan pada pasien dengan perdarahan dalam. Dengan
melakukan pemeriksaan endoskopi kita bisa mngethaui perdarahan yang terjadi
organ dalam. Pemeriksaan
endoskopi dapat mendeteksi lebih dari 95% pasien dengan hemetemesis, melena
atau hematemesis melena dapat ditentukan lokasi perdarahan dan penyebab
perdarahannya. Lokasi dan sumber perdarahan yaitu:
a.
Esofagus :Varises,erosi,ulkus,tumor
b.
Gaster :Erosi, ulkus, tumor, polip, angio
displasia, Dilafeuy, varises
gastropati kongestif
c.
Duodenum
:Ulkus, erosi,
Untuk kepentingan klinik biasanya dibedakan perdarahan
karena ruptur varises dan perdarahan
bukan karena ruptur varises (variceal bleeding dan non variceal bleeding)
(Djumhana, 2011).
2)
Bronkoskopi
Bronkoskopi adalah tindakan yang
dilakukan untuk melihat keadaan intra bronkus dengan menggunakan alat
bronkoskop. Prosedur diagnostik dengan bronkoskop ini dapat menilai lebih baik
pada mukosa saluran napas normal, hiperemis atau lesi infiltrat yang
memperlihatkan mukosa yang compang-camping. Teknik ini juga dapat menilai
penyempitan atau obstruksi akibat kompresi dari luar atau massa intrabronkial,
tumor intra bronkus. Prosedur ini juga dapat menilai ada tidaknya pembesaran
kelenjar getah bening, yaitu dengan menilai karina yang terlihat tumpul akibat
pembesaran kelenjar getah bening subkarina atau intra bronkus (Parhusip, 2004).
3)
CT Scan
CT-scan merupakan alat pencitraan
yang di pakai pada kasus-kasus emergensi
seperti emboli paru, diseksi aorta, akut abdomen, semua jenis trauma dan
menentukan tingkatan dalam stroke. Pada
kasus stroke, CT-scan dapat menentukan dan memisahkan antara jaringan otak yang infark dan daerah
penumbra. Selain itu, alat ini bagus juga untuk menilai kalsifikasi jaringan.
Berdasarkan beberapa studi terakhir,
CT-scan dapat mendeteksi lebih
dari 90 % kasus stroke iskemik, dan menjadi baku emas dalam diagnosis stroke (Widjaya, 2002). Pemeriksaaan
CT. scan juga dapat mendeteksi kelainan-kelainan seerti perdarahan diotak,
tumor otak, kelainan-kelainan tulang dan kelainan dirongga dada dan rongga
perur dan khususnya kelainan pembuluh darah, jantung (koroner), dan pembuluh
darah umumnya (seperti penyempitan darah dan ginjal (ishak, 2012).
4)
USG
Ultrasonografi (USG) adalah alat
diagnostik non invasif menggunakan
gelombang suara dengan frekuensi tinggi
diatas 20.000 hertz ( >20 kilohertz)
untuk menghasilkan gambaran struktur organ di dalam tubuh.Manusia dapat
mendengar gelombang suara 20-20.000
hertz .Gelombang suara antara 2,5 sampai dengan 14 kilohertz digunakan untuk
diagnostik. Gelombang suara dikirim melalui suatu alat yang disebut transducer
atau probe. Obyek didalam tubuh akan memantulkan kembali gelombang suara yang
kemudian akan ditangkap oleh suatu sensor, gelombang pantul tersebut akan
direkam, dianalisis dan ditayangkan di layar. Daerah yang tercakup tergantung
dari rancangan alatnya. Ultrasonografi yang terbaru dapat menayangkan suatu obyek dengan gambaran tiga dimensi,
empat dimensi dan berwarna. USG bisa
dilakukan pada abdomen, thorak (Lyandra, Antariksa, Syaharudin, 2011)
5)
Radiologi
Radiologi merupakan salah satu pemeriksaan
penunjang yang dilakukan di ruang gawat
darurat. Radiologi merupakan bagian dari spectrum elektromagnetik yang
dipancarkan akibat pengeboman anoda wolfram oleh electron-elektron bebas dari
suatu katoda. Film polos dihasilkan oleh pergerakan electron-elektron tersebut
melintasi pasien dan menampilkan film radiologi. Tulang dapat menyerap sebagian
besar radiasi menyebabkan pajanan pada film paling sedikit, sehingga film yang
dihasilkan tampak berwarna putih. Udara paling sedikit menyerap radiasi,
meyebabakan pejanan pada film maksimal sehingga film nampak berwarna hitam.
Diantara kedua keadaan ekstrem ini, penyerapan jaringan sangat berbeda-beda
menghasilkan citra dalam skala abu-abu. Radiologi bermanfaat untuk dada,
abdoment, sistem tulang: trauma, tulang belakang, sendi penyakit degenerative,
metabolic dan metastatik (tumor). Pemeriksaan radiologi penggunaannya dalam
membantu diagnosis meningkat. Sebagian kegiatan seharian di departemen
radiologi adalah pemeriksaan foto toraks. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya
pemeriksaan ini. Ini karena pemeriksaan ini relatif lebih cepat, lebih murah
dan mudah dilakukan berbanding pemeriksaan lain yang lebih canggih dan akurat
(Ishak, 2012).
6)
MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Secara
umum lebih sensitive dibandingkan CT Scan. MRI juga dapat digunakan pada
kompresi spinal. Kelemahan alat ini adalah tidak dapat mendeteksi adanya emboli
paru, udara bebas dalam peritoneum dan faktor. Kelemahan lainnya adalah
prosedur pemeriksaan yang lebih rumit dan lebih lama, hanya sedikit sekali
rumah sakit yang memiliki, harga pemeriksaan yang sangat mahal serta tidak
dapat diapaki pada pasien yang memakai alat pacemaker jantung dan alat bantu
pendengaran (Widjaya,2002).
4. PENGKAJIAN
FOKUS
1. Riwayat
kesehatan
Waktu
kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran saat
kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.
2.
Pemeriksaan fisik
a.
Sistem
respirasi: Suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot,
hiperventilasi, ataksik), nafas berbunyi, stridor, tersedak, ronki, mengi
positif (kemungkinan karena aspirasi).
b.
Kardiovaskuler:
Pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
c.
Kemampuan
komunikasi: Kerusakan pada hemisfer dominan, disfagia atau afasia
akibat kerusakan saraf hipoglosus
dan saraf fasialis.
d.
Psikososial:
Data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien dari keluarga.
e.
Aktivitas/istirahat
S : Lemah, lelah, kaku dan hilang keseimbangan
O : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, guadriparese,
goyah dalam berjalan (ataksia), cidera pada tulang dan kehilangan tonus otot.
f. Sirkulasi
O : Tekanan
darah normal atau berubah (hiper/normotensi), perubahan frekuensi jantung nadi
bradikardi, takhikardi dan aritmia.
g. Integritas Ego
S : Perubahan tingkah laku/kepribadian
O : Mudah tersinggung, delirium, agitasi, cemas, bingung,
impulsive dan depresi
h.
Eliminasi
O : BAB/BAK inkontinensia/disfungsi.
i. Makanan/cairan
S : Mual, muntah, perubahan selera makan
O : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk,
disfagia).
j. Neurosensori
S : Kehilangan kesadaran sementara, vertigo, tinitus,
kehilangan pendengaran, perubahan penglihatan, diplopia,
gangguan pengecapan/pembauan.
O : Perubahan kesadaran, koma. Perubahan
status mental (orientasi, kewaspadaan, atensi dan kinsentarsi) perubahan pupil
(respon terhadap cahaya), kehilangan penginderaan, pengecapan dan pembauan
serta pendengaran. Postur
(dekortisasi, desebrasi), kejang. Sensitive terhadap sentuhan / gerakan.
k. Nyeri/Keyamanan
S : Sakit kepala dengan intensitas dan
lokai yang berbeda.
O : Wajah menyeringa, merintih, respon menarik pada rangsang
nyeri yang hebat,
gelisah
gelisah
l. Keamanan
S : Trauma/injuri kecelakaan
O : Fraktur dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan ROM,
tonus otot hilang kekuatan paralysis, demam, perubahan
regulasi temperatur tubuh.
m. Penyuluhan/Pembelajaran
Riwayat
penggunaan alcohol/obat-obatan terlarang (Doenges, 1999)
3. Pemeriksaan
Penunjang
a.
Scan CT (tanpa/denga kontras)
Mengidentifikasi
adanya sol, hemoragik, menentukan ukuran
ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
b.
MRI
Sama dengan scan CT dengan atau
tanpa kontras.
c.
Angiografi serebral
Menunjukan kelainan sirkulasi serebral,
seperti pengeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma
d.
EEG
Untuk memperlihatkan keberadaan atau
berkembangnya gelombang patologis.
e.
Sinar X
Mendeteksi adanya perubahan struktur
tulang (fraktur), pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan,
edema), adanya fragmen tulang.
f.
BAER (Brain Auditory Evoked Respons)
Menentukan fungsi korteks dan batang
otak.
g.
PET (Positron Emission Tomography)
Menunjukan perubahan aktifitas
metabolisme pada otak.
h.
Fungsi lumbal, CSS
Dapat menduka kemungkinan adanya
perdarahan subarachnoid.
i.
GDA (Gas Darah Artery)
Mengetahui adanya masalah ventilasi
atau oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK.
j.
Kimia /elektrolit darah
Mengetahui ketidak seimbangan yang
berperan dalam peningkatan TIK/perubahan mental.
k.
Pemeriksaan toksikologi
Mendeteksi obat yang mungkin
bertanggung jawab terhadap penurunan kesadaran.
l.
Kadar antikonvulsan darah
Dapat dilakukan untuk mengetahui
tingkat terapi yang cukup fektif untuk mengatasi kejang (Doenges, 1999
I. PATWAY
J. FOKUS DIAGNOSA DAN INTERVENSI KEPERAWATAN
NO.
|
DIAGNOSA
KEPERAWATAN/ MASALAH KOLABORASI
|
TUJUAN
DAN CRITERIA HASIL
|
INTERVENSI
|
1
|
Bersihan Jalan Nafas tidak efektif berhubungan
.DS:
- Dispneu
DO:
i.
Penurunan suara nafas
ii. Orthopneu
iii. Cyanosis
iv. Kelainan suara nafas (rales,
wheezing)
v. Kesulitan
berbicara
vi. Batuk,
tidak efekotif atau tidak ada
vii. Produksi
sputum
viii. Gelisah
ix. Perubahan
frekuensi dan irama nafas
|
NOC:
Respiratory
status : Ventilation
Respiratory
status : Airway patency
Aspiration
Control
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 Jampasien menunjukkan keefektifan
jalan nafas dibuktikan dengan kriteria hasil :
1.
Mendemonstrasikan
batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu
(mampu mengeluarkan sputum, bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips)
2.
Menunjukkan
jalan nafas yang paten(klien tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi
pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal)
3.
Mampu
mengidentifikasikan dan mencegah faktor yang penyebab.
4.
Saturasi O2 dalam batas normal
5.
Foto thorak dalam batas normal
|
NIC :
1.
Pastikan
kebutuhan oral / tracheal suctioning.
2.
Berikan O2 ……l/mnt, metode………
3.
Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas
dalam
4.
Posisikan pasien untuk memaksimalkan
ventilasi
5.
Lakukan fisioterapi dada jika perlu
6.
Keluarkan sekret dengan batuk atau
suction
7.
Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
tambahan
8.
Berikan bronkodilator :
Spirometer/Peak Flow Meter/Nebulizer/Spacers,Holding Chambers/Inhaler
9.
Monitor status hemodinamik
10.
Berikan pelembab udara Kassa
basah NaCl Lembab
11.
Berikan antibiotik : Sesuai
Indikasi
12.
Atur intake untuk cairan
mengoptimalkan keseimbangan.
13.
Monitor
respirasi dan status O2
14.
Pertahankan
hidrasi yang adekuat untuk mengencerkan sekret
15.
Jelaskan
pada pasien dan keluarga tentang penggunaan peralatan : O2, Suction,
Inhalasi.
|
2.
|
Gangguan Pertukaran gas
DS:
i. sakit
kepala ketika bangun
ii.
Dyspnoe
iii.
Gangguan
penglihatan
DO:
i.
Penurunan
CO2
ii. Takikardi
iii. Hiperkapnia
iv. Keletihan
v. Iritabilitas
vi. Hypoxia
vii. Kebingungan
viii. Sianosis
ix. warna
kulit abnormal (pucat, kehitaman)
x. Hipoksemia
xi. Hiperkarbia
xii. AGD
abnormal
xiii. pH
arteri abnormal
xiv. frekuensi
dan kedalaman nafas abnormal
|
NOC:
Respiratory
Status : Gas exchange
Keseimbangan
asam Basa, Elektrolit
Respiratory
Status : ventilation
Vital
Sign Status
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 1 x 24 Jam Gangguan
pertukaran pasien teratasi dengan kriteria hasi:
1.
Mendemonstrasikan peningkatan ventilasi dan
oksigenasi yang adekuat.
2.
Memelihara kebersihan paru paru dan bebas
dari tanda tanda distress pernafasan.
3.
Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara
nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum,
mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips)
4.
Tanda tanda vital dalam rentang normal
5.
AGD dalam batas normal
6.
Status neurologis dalam batas normal
|
NIC
:
1.
Posisikan pasien untuk memaksimalkan
ventilasi
2.
Pasang mayo bila perlu
3.
Lakukan fisioterapi dada jika perlu
4.
Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
5.
Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
tambahan
6.
Berikan bronkodilator ;
Spirometer/Peak Flow Meter/Nebulizer/Spacers,Holding Chambers/Inhaler
7.
Barikan pelembab udara
8.
Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
keseimbangan.
9.
Monitor respirasi dan status O2
10.
Catat
pergerakan dada,amati kesimetrisan, penggunaan otot tambahan, retraksi otot
supraclavicular dan intercostals
11.
Monitor suara nafas, seperti dengkur
12.
Monitor pola nafas : bradipena, takipenia,
kussmaul, hiperventilasi, cheyne stokes, biot
13.
Auskultasi suara nafas, catat area
penurunan / tidak adanya ventilasi dan suara tambahan
14.
Monitor TTV, AGD, elektrolit dan ststus
mental
15.
Observasi sianosis khususnya membran mukosa
16.
Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang
persiapan tindakan dan tujuan penggunaan alat tambahan (O2, Suction,
Inhalasi)
17.
Auskultasi bunyi jantung, jumlah, irama dan
denyut jantung
18.
|
3.
|
Pola Nafas tidak efektif
DS:
i.
Dyspnea
ii. Nafas
pendek
DO:
i.
Penurunan tekanan inspirasi/ekspirasi
ii. Penurunan
pertukaran udara per menit
iii. Menggunakan
otot pernafasan tambahan
iv. Orthopnea
v. Pernafasan
pursed-lip
vi. Tahap
ekspirasi berlangsung sangat lama
vii. Penurunan
kapasitas vital
viii. Respirasi:
< 11 – 24 x /mnt
|
NOC:
Respiratory status :
Ventilation
Respiratory status : Airway
patency
Vital sign
Status
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x 24 Jam
pasien menunjukkan keefektifan pola nafas, dibuktikan dengan kriteria hasil:
1. Mendemonstrasikan
batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu
(mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dg mudah, tidakada pursed lips)
2. Menunjukkan
jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas,
frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal
3. Tanda Tanda
vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, pernafasan)
|
NIC:
1. Posisikan
pasien untuk memaksimalkan ventilasi
2. Pasang mayo
bila perlu
3. Lakukan
fisioterapi dada jika perlu
4. Keluarkan
sekret dengan batuk atau suction
5. Auskultasi
suara nafas, catat adanya suara tambahan
6. Berikan
bronkodilator : Spirometer/Peak Flow
Meter/Nebulizer/Spacers,Holding Chambers/Inhaler
7. Berikan
pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab
8. Atur intake
untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
9. Monitor
respirasi dan status O2
10. Bersihkan
mulut, hidung dan secret trakea
11. Pertahankan jalan nafas yang paten
12. Observasi adanya tanda tanda
hipoventilasi
13. Monitor
adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi
14. Monitor vital
sign
15. Informasikan
pada pasien dan keluarga tentang tehnik relaksasi untuk memperbaiki pola
nafas.
16. Ajarkan
bagaimana batuk efektif
17. Monitor pola
nafas
|
4.
|
Perfusi jaringan tidak
efektif
Definisi
:
Penurunan pemberian oksigen dalam
kegagalan memberi makan jaringan pada tingkat kapiler
Batasan karakteristik :
Renal
- Perubahan
tekanan darah di luar batas parameter
- Hematuria
- Oliguri/anuria
- Elevasi/penurunan
BUN/rasio kreatinin
Gastro Intestinal
- Secara
usus hipoaktif atau tidak ada
- Nausea
- Distensi
abdomen
- Nyeri
abdomen atau tidak terasa lunak (tenderness)
Peripheral
- Edema
- Tanda
Homan positif
- Perubahan
karakteristik kulit (rambut, kuku, air/kelembaban)
- Denyut
nadi lemah atau tidak ada
- Diskolorisasi
kulit
- Perubahan
suhu kulit
- Perubahan
sensasi
- Kebiru-biruan
- Perubahan
tekanan darah di ekstremitas
- Bruit
- Terlambat
sembuh
- Pulsasi
arterial berkurang
- Warna
kulit pucat pada elevasi, warna tidak kembali pada penurunan kaki
Cerebral
- Abnormalitas
bicara
- Kelemahan
ekstremitas atau paralis
- Perubahan
status mental
- Perubahan
pada respon motorik
- Perubahan
reaksi pupil
- Kesulitan
untuk menelan
- Perubahan
kebiasaan
Kardiopulmonar
- Perubahan
frekuensi respirasi di luar batas parameter
- Penggunaan
otot pernafasan tambahan
- Balikkan
kapiler > 3 detik (Capillary refill)
- Abnormal
gas darah arteri
- Perasaan
”Impending Doom” (Takdir terancam)
- Bronkospasme
- Dyspnea
- Aritmia
- Hidung
kemerahan
- Retraksi
dada
- Nyeri
dada
Faktor-faktor yang berhubungan :
- Hipovolemia
- Hipervolemia
- Aliran
arteri terputus
- Exchange
problems
- Aliran
vena terputus
- Hipoventilasi
- Reduksi
mekanik pada vena dan atau aliran darah arteri
- Kerusakan
transport oksigen melalui alveolar dan atau membran kapiler
- Tidak
sebanding antara ventilasi dengan aliran darah
- Keracunan
enzim
- Perubahan
afinitas/ikatan O2 dengan Hb
- Penurunan
konsentrasi Hb dalam darah
|
NOC :
Circulation
status
Tissue
Prefusion : cerebral
Kriteria Hasil :
a. mendemonstrasikan
status sirkulasi yang ditandai dengan :
1.
Tekanan systole
dandiastole dalam rentang yang diharapkan
2.
Tidak ada ortostatikhipertensi
3.
Tidak ada tanda tanda
peningkatan tekanan intrakranial (tidak lebih dari 15 mmHg)
4.
mendemonstrasikan
kemampuan kognitif yang ditandai dengan:
5.
berkomunikasi dengan
jelas dan sesuai dengan kemampuan
6.
menunjukkan perhatian, konsentrasi dan orientasi, memproses
informasi, membuat keputusan dengan benar
7.
menunjukkan fungsi sensori motori cranial yang utuh :
tingkat kesadaran mambaik, tidak ada gerakan gerakan involunter
|
NIC :
Peripheral Sensation Management (Manajemen sensasi perifer)
1.
Monitor adanya daerah tertentu yang hanya peka terhadap
panas/dingin/tajam/tumpul
2.
Monitor adanya paretese
3.
Instruksikan keluarga untuk mengobservasi kulit jika ada lsi
atau laserasi
4.
Gunakan sarun tangan untuk proteksi
5.
Batasi gerakan pada
kepala, leher dan punggung
6.
Monitor kemampuan BAB
7.
Kolaborasi pemberian analgetik
8.
Monitor adanya tromboplebitis
9.
Diskusikan menganai
penyebab perubahan sensasi
|
5.
|
Defisit
Volume Cairan
Definisi : Penurunan cairan
intravaskuler, interstisial, dan/atau intrasellular. Ini mengarah ke
dehidrasi, kehilangan cairan dengan pengeluaran sodium
Batasan Karakteristik :
- Kelemahan
- Haus
- Penurunan
turgor kulit/lidah
- Membran
mukosa/kulit kering
- Peningkatan
denyut nadi, penurunan tekanan darah, penurunan volume/tekanan nadi
- Pengisian vena
menurun
- Perubahan
status mental
- Konsentrasi
urine meningkat
- Temperatur
tubuh meningkat
- Hematokrit
meninggi
- Kehilangan
berat badan seketika (kecuali pada third spacing)
Faktor-faktor yang berhubungan:
- Kehilangan
volume cairan secara aktif
- Kegagalan
mekanisme pengaturan
|
NOC:
Fluid
balance
Hydration
Nutritional
Status : Food and Fluid Intake
Kriteria Hasil :
1.
Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ urine
normal, HT normal
2.
Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal
3.
Tidak ada tanda tanda dehidrasi, Elastisitas turgor kulit baik,
membran mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan
|
NIC :
Fluid management
1.
Timbang popok/pembalut
jika diperlukan
2.
Pertahankan catatan
intake dan output yang akurat
3.
Monitor status hidrasi (
kelembaban membran mukosa, nadi adekuat, tekanan darah ortostatik ), jika
diperlukan
4.
Monitor hasil lAb yang
sesuai dengan retensi cairan (BUN , Hmt , osmolalitas urin )
5.
Monitor vital sign
6.
Monitor masukan makanan /
cairan dan hitung intake kalori harian
7.
Kolaborasi pemberian
cairan IV
8.
Monitor status nutrisi
9.
Berikan cairan
10.
Berikan diuretik sesuai
interuksi
11.
Berikan cairan IV pada
suhu ruangan
12.
Dorong masukan oral
13.
Berikan penggantian
nesogatrik sesuai output
14.
Dorong keluarga untuk
membantu pasien makan
15.
Tawarkan snack ( jus buah, buah segar )
16.
Kolaborasi dokter jika
tanda cairan berlebih muncul meburuk
17.
Atur kemungkinan tranfusi
18.
Persiapan untuk tranfusi
|
6.
|
Nyeri
Definisi :
Sensori yang tidak menyenangkan dan
pengalaman emosional yang muncul secara aktual atau potensial kerusakan
jaringan atau menggambarkan adanya kerusakan (Asosiasi Studi Nyeri
Internasional): serangan mendadak atau pelan intensitasnya dari ringan sampai
berat yang dapat diantisipasi dengan akhir yang dapat diprediksi dan dengan
durasi kurang dari 6 bulan.
Batasan karakteristik :
- Laporan
secara verbal atau non verbal
- Fakta
dari observasi
- Posisi
antalgic untuk menghindari nyeri
- Gerakan
melindungi
- Tingkah
laku berhati-hati
- Muka
topeng
- Gangguan
tidur (mata sayu, tampak capek, sulit atau gerakan kacau, menyeringai)
- Terfokus
pada diri sendiri
- Fokus
menyempit (penurunan persepsi waktu, kerusakan proses berpikir, penurunan
interaksi dengan orang dan lingkungan)
- Tingkah
laku distraksi, contoh : jalan-jalan, menemui orang lain dan/atau aktivitas,
aktivitas berulang-ulang)
- Respon
autonom (seperti diaphoresis, perubahan tekanan darah, perubahan nafas, nadi
dan dilatasi pupil)
- Perubahan
autonomic dalam tonus otot (mungkin dalam rentang dari lemah ke kaku)
- Tingkah
laku ekspresif (contoh : gelisah, merintih, menangis, waspada, iritabel,
nafas panjang/berkeluh kesah)
- Perubahan
dalam nafsu makan dan minum
Faktor yang berhubungan :
Agen injuri (biologi, kimia, fisik,
psikologis)
|
NOC :
Pain
Level,
Pain
control,
Comfort
level
Kriteria Hasil :
1.
Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan
tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
2.
Melaporkan bahwa nyeri
berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
3.
Mampu mengenali nyeri
(skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
Menyatakan rasa nyaman setelah
nyeri berkurang
Tanda
vital dalam rentang normal
|
NIC :
Pain Management
1.
Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
2.
Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
3.
Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman
nyeri pasien
4.
Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
5.
Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
6.
Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang
ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau
7.
Bantu pasien dan keluarga
untuk mencari dan menemukan dukungan
8.
Kontrol lingkungan yang
dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
9.
Kurangi faktor presipitasi nyeri
10. Pilih
dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi dan inter
personal)
11. Kaji
tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
12. Ajarkan tentang teknik
non farmakologi
13. Berikan analgetik
untuk mengurangi nyeri
14. Evaluasi keefektifan
kontrol nyeri
15. Tingkatkan istirahat
16. Kolaborasikan
dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil
17. Monitor
penerimaan pasien tentang manajemen nyeri
Analgesic
Administration
1.
Tentukan lokasi,
karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian obat
2.
Cek instruksi dokter
tentang jenis obat, dosis, dan frekuensi
3.
Cek riwayat alergi
4.
Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari analgesik
ketika pemberian lebih dari satu
5.
Tentukan pilihan
analgesik tergantung tipe dan beratnya nyeri
6.
Tentukan analgesik
pilihan, rute pemberian, dan dosis optimal
7.
Pilih rute pemberian
secara IV, IM untuk pengobatan nyeri secara teratur
8.
Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik
pertama kali
9.
Berikan analgesik tepat
waktu terutama saat nyeri hebat
10. Evaluasi efektivitas
analgesik, tanda dan gejala (efek samping)
|
7
|
Resiko tinggi terhadap penurunan curah jantung
|
NOC :
Cardiac
Pump effectiveness
Circulation
Status
Vital
Sign Status
|
NIC :
Cardiac Care
1.
Evaluasi adanya nyeri
dada ( intensitas,lokasi, durasi)
2.
Catat adanya disritmia jantung
3.
Catat adanya tanda dan
gejala penurunan cardiac putput
4.
Monitor status kardiovaskuler
5.
Monitor status pernafasan yang menandakan gagal jantung
6.
Monitor abdomen sebagai
indicator penurunan perfusi
7.
Monitor balance cairan
8.
Monitor adanya perubahan tekanan darah
9.
Monitor respon pasien
terhadap efek pengobatan antiaritmia
10. Atur
periode latihan dan istirahat untuk menghindari kelelahan
11. Monitor toleransi
aktivitas pasien
12. Monitor
adanya dyspneu, fatigue, tekipneu dan ortopneu
13. Anjurkan untuk
menurunkan stress
Fluid Management
1. Timbang
popok/pembalut jika diperlukan
2. Pertahankan
catatan intake dan output yang akurat
3. Pasang
urin kateter jika diperlukan
4. Monitor
status hidrasi ( kelembaban membran mukosa, nadi adekuat, tekanan darah
ortostatik ), jika diperlukan
5. Monitor
hasil lAb yang sesuai dengan retensi cairan (BUN , Hmt , osmolalitas
urin )
6. Monitor
status hemodinamik termasuk CVP, MAP, PAP, dan PCWP
7. Monitor
vital sign sesuai indikasi penyakit
8. Monitor
indikasi retensi / kelebihan cairan (cracles, CVP , edema, distensi vena
leher, asites)
9. Monitor
berat pasien sebelum dan setelah dialisis
10. Kaji
lokasi dan luas edema
11. Monitor
masukan makanan / cairan dan hitung intake kalori harian
12. Kolaborasi
dengan dokter untuk pemberian terapi cairan sesuai program
13. Monitor
status nutrisi
14. Berikan
cairan
15. Kolaborasi
pemberian diuretik sesuai program
16. Berikan
cairan IV pada suhu ruangan
17. Dorong
masukan oral
18. Berikan
penggantian nesogatrik sesuai output
19. Dorong
keluarga untuk membantu pasien makan
20. Tawarkan snack (jus
buah, buah segar )
21. Batasi
masukan cairan pada keadaan hiponatrermi dilusi dengan serum Na < 130
mEq/l
22. Monitor
respon pasien terhadap terapi elektrolit
23. Kolaborasi
dokter jika tanda cairan berlebih muncul meburuk
24. Atur
kemungkinan tranfusi
25. Persiapan
untuk tranfusi
Fluid Monitoring
1. Tentukan
riwayat jumlah dan tipe intake cairan dan eliminasi
2. Tentukan
kemungkinan faktor resiko dari ketidak seimbangan cairan (Hipertermia, terapi
diuretik, kelainan renal, gagal jantung, diaporesis, disfungsi hati, dll )
3. Monitor
berat badan
4. Monitor
serum dan elektrolit urine
5. Monitor
serum dan osmilalitas urine
6. Monitor
BP<HR, dan RR
7. Monitor
tekanan darah orthostatik dan perubahan irama jantung
8. Monitor
parameter hemodinamik infasif
9. Catat
secara akutar intake dan output
10.
Monitor membran mukosa
dan turgor kulit, serta rasa haus
11.
Catat monitor warna,
jumlah dan
12.
Monitor adanya distensi
leher, rinchi, eodem perifer dan penambahan BB
13.
Monitor tanda dan gejala
dari odema
14.
Beri cairan sesuai
keperluan
15.
Kolaborasi pemberian obat
yang dapat meningkatkan output urin
16.
Lakukan hemodialisis bila
perlu dan catat respons pasien
Vital Sign Monitoring
1.
Monitor TD, nadi, suhu,
dan RR
2.
Catat adanya fluktuasi tekanan darah
3.
Monitor VS saat pasien
berbaring, duduk, atau berdiri
4.
Auskultasi TD pada kedua
lengan dan bandingkan
5.
Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama, dan setelah aktivitas
6.
Monitor kualitas dari nadi
7.
Monitor adanya pulsus paradoksus
8.
Monitor adanya pulsus alterans
9.
Monitor jumlah dan irama jantung
10. Monitor bunyi jantung
11. Monitor frekuensi dan
irama pernapasan
12. Monitor suara paru
13. Monitor pola
pernapasan abnormal
14. Monitor
suhu, warna, dan kelembaban kulit
15. Monitor sianosis
perifer
16. Monitor adanya cushing
triad (tekanan nadi yang melebar, bradikardi, peningkatan sistolik)
17. Identifikasi
penyebab dari perubahan vital sign
|
8
|
Kerusakan integritas kulit b/d penurunan imunitas
|
NOC :
Tissue Integrity :
Skin and Mucous Membranes
Kriteria Hasil :
1.
Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi,
elastisitas, temperatur, hidrasi, pigmentasi
2.
Tidak ada luka/lesi pada kulit
3.
Perfusi jaringan baik
4.
Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah
terjadinya sedera berulang
5.
Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan
perawatan alami
|
NIC :Pressure Management
1.
Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar
2.
Hindari kerutan padaa tempat tidur
3.
Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
4.
Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali
5.
Monitor kulit akan adanya kemerahan
6.
Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada derah yang tertekan
7.
Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
8.
Monitor status nutrisi pasien
|
9
|
Gangguan eliminasi urin
|
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama…x 24 jam eliminasi urin klien dalam rentang
normal denganurinary elimination
Kriteria hasil :
1. Frekuensi eliminasi
urin dalam rentang normal
2. Tidak ada bengkak dan memerah pada saluran kemih
3. Tidak ada sekret/cairan nanah keluar dari saluran kencing
4. Urin tidak
mengandung protein glukosa ataupun keton
|
Urinary elimination
management
1. Monitor pengeluaran
urin termasuk frekuensi, warna, volume, dan senyawa yang terkandung
didalamnya
2. Monitor tanda dan
gejala adanya retensi urin
3. Catat waktu
pengeluaran urin terakhir
4. Ajarkan pasien untuk minum secara lancar yaitu 8 gelas sehari
5. Anjurkan klien untuk mengenali adanya ISK yang berkelanjutan
|
10
|
Gangguan termoreguler
|
NOC (Nursing
Outcome Classification)
Menurut Morhead, et
al., (2008) NOC untuk diagnosa tersebut antara lain:
Termoregulasi
1.
Tidak ada sakit kepala atau pusing
2.
Tidak ada perubahan warna kulit abnormal
3.
Temperature tubuh dalam batas normal
4.
Nadi DBN
5.
Menggigil waktu dingin
b)
Status Vital Sign
1.
Temperatur suhu tubuh 36-37OC.
2.
Respiratory Rate Dalam Batas Normal.
3.
Nadi Dalam Batas Normal.
4.
Tekanan darah Dalam Batas Normal.
5.
Melaporkan kenyamanan suhu.
|
NIC (Nursing Intervention Classification)
Menurut Bulechek,
Buther, dan Dochterman, (2008) NIC untuk diagnosa tersebut antara lain:
a) Regulasi suhu
Aktivitas :
1.
Pantau suhu minimal setiap 2 jam, sesuai dengan kebutuhan.
2.
Pantau warna kulit dan suhu.
3.
Pantau tanda-tanda vital.
4.
Pantau adanya kejang.
5.
Ajarkan pasien atau keluarga dalam mengukur suhu untuk
mencegah dan mengenali secara dini hipertermia.
6.
Anjurkan untuk perbanyak asupan cairan oral sedikitnya 2 liter
sehari.
7.
Lepaskan pakaian yang berlebihan dan tutupi pasien dengan
selimut saja.
8.
Lakukan tapid sponge
9.
Berikan teknik non-farmakologi : kompres hangat k/p.
10. Kolaborasi dengan
dokter, pemberian obat antipiretik k/p
11. Pemantauan tanda
vital
Aktivitas :
1.
Pantau tekanan darah.
2.
Monitor kualitas denyut nadi.
3.
Pantau frekuensi dan irama pernapasan.
4.
Observasi ulang suhu sesuai dengan kebutuhan.
5.
Berikan posisi nyaman ke pasien dan monitor Vital Sign saat
pasien berbaring, duduk atau berdiri .
6.
Anjurkan pasien untuk mengukur suhu sendiri untuk
mencegah dan mengenali secara dini tanda-tanda hipertermi.
7.
Ajarkan kepada keluarga tentang tanda-tanda awal demam /
hipertermi.
8.
Berikan informasi kepada pasien atau keluarga terhadap
faktor-faktor yang dapat mengubah suhu inti tubuh.
9.
Ajarkan ke keluarga untuk mengenal lokasi yang tepat untuk
pengukuran suhu tubuh.
10. Kolaborasi dengan
dokter terhadap pemberian terapi
11. Mandi
12. Manajemen lingkungan
13. Penanganan Demam
14. Manajemen Cairan
15. Pemantauan Cairan
16. Pengaturan
Hemodinamik
17. Pengaturan Suhu
18. Pengaturan Suhu
Intraoperatif
19. Pemantauan
Tanda-tanda Vital
|
No comments:
Post a Comment